Senin, 24 Oktober 2011

Bidan Desa Harus Melek Teknologi Informasi (IT)

sumber: mediabidan.com
Perkembangan teknologi informasi (IT) yang sangat pesat di Indonesia saat ini, menjadikannya bukan lagi sebagai sekadar "keinginan" melainkan sudah kepada tatanan "kebutuhan" semua umat manusia di muka bumi ini, tidak terkecuali masyarakat di Indonesia. Dukungan positif dari pihak pemerintah maupun swasta dalam memacu akselerasi teknologi informasi (IT) di Indonesia sudah menunjukkan hasilnya dalam 2 (dua) tahun belakangan ini. Salah satu buktinya adalah bahwa hampir sebagian besar masyarakat Indonesia tidak dapat terpisahkan oleh penggunakan teknologi informasi (IT) dalam setiap aktivitas hariannya.

Dunia kesehatan pun merasakan hal yang kurang lebih sama. Salah satu pakar teknologi informasi di bidang kesehatan dari UGM Yogyakarta yaitu bapak Anis Fuad, DEA. , pada saat seminar HL-7 yang diselenggarakan oleh FKUI beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa perkembangan teknologi informasi (IT) di bidang kesehatan sudah bukan monopoli rumah sakit besar maupun instansi pemerintahan saja, melainkan sudah sampai kepada tatanan Puskesmas di daerah-daerah terpencil (seperti halnya di Kab. Sleman, Yogyakarta).

Menyadari potensi yang luar biasa terhadap perkembangan teknologi informasi (IT) di dunia kesehatan khususnya di wilayah pedesaan, maka ada salah satu faktor kunci dalam mewujudkan keberhasilan Pemerintah Indonesia menuju Indonesia yang benar-benar SEHAT adalah peranan aktif dari BIDAN khususnya bidan desa.

Bidan desa memegang peranan penting dalam usaha menurunkan angka kematian bayi, angka kematian balita maupun angka kematian ibu hamil di Indonesia. Selain itu juga bidan desa adalah ujung tombak Kementrian Kesehatan RI dalam mensosialisasikan program bersalin yang sehat, imunisasi dan juga program Keluarga Berencana (KB).

Akan tetapi untuk mewujudkan hal-hal tersebut, tidak sedikit bidan desa yang mengalami kendala khususnya yang berkaitan dengan infrastruktur dan fasilitas pendukungnya. Selain itu juga minimnya informasi yang berkaitan dengan lokasi Rumah Sakit terdekat sebagai tempat rujukan adalah salah satu masalah klasik yang sampai saat ini masih saja terjadi.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan bidan desa tersebut sebenarnya bisa diselesaikan dengan penggunaan teknologi informasi (IT) yang relatif murah. Hal ini dikarenakan dukungan dari para prinsipal telepon selular lokal yang berhasil mengeluarkan produk-produk yang cukup mendukung penggunaan internet dengan harga yang relatif murah. Penggunaan telepon selular yang memiliki fasilitas internet sebenarnya merupakan suatu peluang bagi Pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan RI dalam mewujudkan sistem informasi kesehatan (e-health) yang terintegrasi. Artinya, dari sudut pandang pemerintah tinggal bekerja sama dengan Kementrian KOMINFO dan beberapa pihak swasta untuk investasi infrastruktur pendukung layanan informasi kesehatan terintegrasi ini, tanpa harus menyediakan pula perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) kepada para pelaku di lapangan khususnya Bidan Desa.

Langkah awal yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan program penjualan telepon selular internet murah kepada para bidan desa di seluruh wilayah Indonesia (dengan berbagai mekanisme baik cash maupun kredit tanpa bunga) lalu dilanjutkan dengan sosialisasi penggunaan internet yang efektif bagi bidan desa khususnya dalam mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan untuk mendukung kinerjanya di daerah pedesaan. Artinya sudah saatnya Bidan Desa di Indonesia 100% Melek Teknologi Informasi (IT).

Walaupun tulisan ini masih bersifat wacana dan usulan semata, semoga beberapa pihak yang berkepentingan secara langsung yaitu Pemerintah dapat tergugah untuk secepatnya mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yaitu INDONESIA SEHAT 100%. Amien...

Minggu, 16 Oktober 2011

Sistem Informasi Rujukan yang Terintegrasi

Sumber: http://msnbc.msn.com
Permasalahan utama sektor kesehatan di Indonesia tidak terlepas dari faktor infrastruktur layanan kesehatan yang belum memadai dan merata di seluruh wilayah negara tercinta ini. Masih terpusatnya sarana layanan kesehatan yang memadai hanya di kota-kota besar saja merupakan salah satu penyumbang masih tingginya angka kematian bayi, balita maupun ibu. Awal dari permasalahan tersebut adalah terlambatnya proses penanganan khususnya di daerah-daerah terpencil. Pada saat pasien datang ke pusat layanan kesehatan daerah, dan ternyata daerah tersebut tidak memiliki peralatan yang memadai, maka mau tidak mau pasien tersebut haruslah dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai. Akan tetapi permasalahan tidaklah selesai sampai dengan fase tersebut, pada saat tiba di rumah sakit rujukan ternyata masalah lain muncul, yaitu terbatasnya kapasitas tempat untuk menangani pasien tersebut. Sehingga pasien yang bersangkutan harus kembali dirujuk di rumah sakit lain yang belum bisa dipastikan apakah rumah sakit tersebut mampu menangani atau tidak.

Memang selama ini bukan berarti proses merujuk pasien dari satu tempat ke tempat yang lain tidak melibatkan teknologi informasi dan komunikasi, walaupun masih menggunakan media telepon. Penggunaan media telepon ini baru sebatas kepada "information exchange" khususnya berhubungan dengan kapasitas dan kemampuan pusat layanan kesehatan dalam menangani pasien rujukan tersebut. Masalah yang timbul adalah tidak terjaminnya akurasi informasi yang diberikan.

Solusi sederhana yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah adanya suatu layanan informasi (khususnya berkenaan dengan kapasitas dan fasilitas yang dimiliki) dari semua pusat layanan kesehatan. Hal ini akan dapat mempercepat proses penentuan tempat mana yang harus dituju oleh pasien yang akan dirujuk. Sehingga secara tidak langsung dapat menyelamatkan nyawa dari pasien tersebut dan juga apabila kita lihat dari waktu proses merujuk akan timbul efisiensi waktu yang berdampak langsung pada efisiensi biaya, sehingga pasien tidak dibebankan biaya proses rujukan yang tinggi selain biaya perawatan di tempat rujukan nantinya.

Sumber:  
Firdaus, O.M., & Zakiyyah, E.R., Model Konseptual E-Health Untuk Departemen Ilmu Kesehatan Anak di Indonesia, Seminar Teknik Informatika & Sistem Informasi (SETISI) 2011, Universitas Kristen Maranatha, Bandung, 24 September 2011.

Rabu, 25 Mei 2011

Mari Turunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi

Tulisan ini terinspirasi dari hasil diskusi bersama salah seorang dosen pembimbing saya di Teknik Industri ITB pada hari Rabu, 25 Mei 2011 sekitar pukul 13.25 WIB.

Beliau mengutarakan pendapatnya tentang bagaimana caranya agar seorang bidan dengan cepat dan tepat membuat suatu keputusan tentang kondisi pasien (dalam hal ini ibu yang akan melahirkan), tanpa harus mengorbankan kondisi si ibu dan si bayi bahkan harus sampai mengorbankan nyawa keduanya.

Amazing!!! Itulah kata yang bisa saya sampaikan untuk ide yang cukup luar biasa tersebut. Mengapa demikian??? Karena ide tersebut muncul justru berasal dari seorang Doktor Teknik Industri dengan fokus di Sistem Manufaktur, bukanlah berasal dari seorang tenaga kesehatan baik dokter, bidan maupun perawat.

Hal inilah yang membuat saya menjadi semakin terpacu untuk dapat menyelesaikan penelitian doktor ini dengan target memberikan suatu nilai tambah bagi dunia kesehatan khususnya yang berkaitan dengan proses persalinan.

Masalah persalinan, ibu hamil, bayi maupun hal-hal yang berhubungan dengan itu semua, bukanlah sesuatu yang asing di telinga saya. Hal tersebut dikarenakan saya lahir dan besar dari seorang ibu yang berprofesi bidan. Alhamdulillah sejak tahun 1970 sampai dengan sekarang beliau tetap sehat dan telah membantu menolong persalinan ribuan atau bahkan ratusan ribu kali. Semoga amal baik ibuku dibalas oleh Alloh SWT. Amien...

Kembali kepada masalah awal, ada beberapa hal yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para bidan untuk dapat aktif dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi, yaitu :
1. Mulai sadar akan pentingnya medical record si pasien (sebaiknya elektronik)
2. Selalu update pengetahuan yang berhubungan dengan proses persalinan
3. Mulai membangun network dengan rumah sakit terdekat sebagai tempat rujukan
4. Bekerjasama dengan dokter obgyn dalam pelayanan USG (pendeteksi dini)
5. Tidak membiasakan "trial and error" berkaitan dengan proses persalinan
6. Mematuhi SOP (standard operating procedure) yang dikeluarkan oleh IBI
7. Serta sadar bahwa nyawa yang akan ditolong adalah 2 (ibu & bayi)

Saya berkeyakinan, apabila para bidan di Indonesia mulai menerapkan ke-7 hal tersebut di atas, insya Alloh dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi, dan yang lebih penting lagi kualitas kesehatan ibu pasca melahirkan akan lebih meningkat sehingga si ibu dapat memberikan ASI eksklusif kepada anaknya dengan lebih berkualitas dan tentunya masa depan anak Indonesia menjadi lebih cerah.

Amien... semoga....

Terima kasih banyak kepada Bapak TMA atas inspirasi yang sangat bermanfaat untuk kelangsung penelitian doktor saya dan yang lebih penting lagi untuk kualitas kesehatan masyarakat Indonesia pada umumnya.

by: Oktri Mohammad Firdaus (@LSIK TI-ITB, 25 Mei 2011)

Jumat, 20 Mei 2011

Smart Card di RS Fatmawati Jakarta (awal yang baik untuk eHealth Indonesia)

Kata yang membanggakan ini terlontar saat Chairul Radjab Nasution, Dirut RSUP Fatmawati menjelaskan perubahan besar yang tengah terjadi di rumah sakit pelat merah ini, salah satunya di pelayanan rawat jalan Griya Husada. Sebuah pelayanan eksekutif.
Chairul mengatakan, kendala yang terjadi hampir disemua rumah sakit selama ini adalah data pasien. “ seperti halnya RSUPF, bayangkan setiap hari tak kurang dari 350 orang pasien yang berkunjung. Belum lagi untuk pasien lama yang berkunjung kembali, tak akan mudah menemukan data medical record pasien tersebut,” ujar nya.
Bahkan dokter yang menangani si pasien pun sering bertanya ulang soal riwayat pasien, apa lagi bila dokternya berganti. Yang lebih serius lagi bila sipasien dalam keadaan kritis atau tak dapat bekomunikasi. Lalau bagaiman dokter mengetahui penyakit dan riwayat penyakit, obat-obatan yang pernah diberikan? Bahkan nama dokter yang menangani selama ini?” Lanjut Cahirul.
Untuk menjawab segala tantangan yang menuntut pelayanan serba cepat dan tepat dan nyaman, kini RSUP Fatmawati tepatnya di pelayanan eksekutif Griya Husada melakukan Taranspormasi IT yang dimulai merupakan jawaban semua pertanyaan selama ini, peralihan dari sistem manual ke digital dengan menggunakan smart card sudah mulai diterapkan. Takan ada masalah besar bila ada pasien yang datang berkunjung, berobat atau dalam keadaan darurat. dokter atau perawat yang menerima, hanya tinggal membuka smart card si pasien, dalam waktu singkat otomatis semua data rekam medis pasien akan terbaca.
Smart card yang digunakan merupakan yang tercanggih saat ini, yaitu menggunakan chip contactless yang berkomunikasi dengan cara induksi RFID dengan kecepatan pertukaran data dari 106 sampai 848 kbit/detik.
Tak ada gesek-mengesek. Hanya tinggal dekatkan kartu ke card reader, komputer dengan touch screen akan menampilkan semua data pasien, mulai dari data kunjungan, riwayat penyakit, obat-obatan dan dokter yang menangani. Inilah yang belum di terapkan di rumah sakit lain, kartu elektronik yang ada hanya sebatas kartu pengenal. Belum sebagai kartu pintar. 
sumber : http://vulcan3.sip.co.id/

Kamis, 19 Mei 2011

e-Health di Canada (sangat komprehensif dan terintegrasi)

eHealth is an overarching term used today to describe the application of information and communications technologies in the health sector. It encompasses a whole range of purposes from purely administrative through to health care delivery. For example:
  • within the hospital care setting, eHealth refers to electronic patient administration systems; laboratory and radiology information systems; electronic messaging systems; and, telemedicine -- teleconsults, telepathology, and teledermatology, to name a few
  • within the home care setting, examples include teleconsults and remote vital signs monitoring systems used for diabetes medicine, asthma monitoring and home dialysis systems
  • within the primary care setting, eHealth can refer to the use of computer systems by general practitioners and pharmacists for patient management, medical records and electronic prescribing.
A fundamental building block of all these applications is the Electronic Health Record, which allows the sharing of necessary information between care providers across medical disciplines and institutions. Other important uses of eHealth are found in the areas of continuous medical education and public health awareness and education.

eHealth is an essential element of health care renewal: its application to Canada's health care system will result in benefits to Canadians through improvements in system accessibility, quality and efficiency. The Government of Canada has been making investments in this area since the 1997 Federal Budget, including federal commitments towards First Ministers Agreements (September 2000 and 2003). A key factor in the success of the Government's work is its strong commitment to collaboration.

Health Canada's priorities and efforts have focused on addressing policy issues and challenges in mainstreaming eHealth services within Canada's health care system and in measuring progress in the deployment and investment of these services.

For example, recognizing the benefits of electronic prescribing, Health Canada undertook a review of its federal statutes to determine whether amendments are required to enable e-prescribing. Health Canada has since determined that Part C of the Food and Drugs Regulations made under the Food and Drugs Act, and regulations made under the Controlled Drugs and Substances Act do not present any impediments to e-prescribing, and that electronically generated and transmitted prescriptions are permissible to the extent that they achieve the same regulatory objectives as written prescriptions.

sumber : Health Canada

E-Health Solusi Perbaikan Kualitas Kesehatan di Indonesia (semoga!!!)

Perkembangan dunia kesehatan di Indonesia khususnya baik dari sudut pandang treatment yang ditemukan untuk menyembuhkan atau menangani suatu penyakit, hasil-hasil penelitian baru yang memiliki nilai tambah dalam tatanan praktik serta teknologi pendukung baik sebagai alat bantu treatment maupun teknologi informasi dan komunikasi yang cukup pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, menuntut dukungan dan peran aktif dari semua stakeholders yang terlibat didalamnya baik secara langsung maupun tidak.
 
Pemerintah sebagai salah satu stakeholder yang berperan sangat penting melalui Kementrian Kesehatan bekerjasama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika sudah sejak awal tahun 2005 mencanangkan program layanan kesehatan terintegrasi (e-health Indonesia) dengan tujuan untuk mewujudkan pemerataan layanan kesehatan bagi seluruh wilayah di Indonesia khususnya daerah-daerah yang selama ini sangat sulit dijangkau oleh treatment kesehatan yang berkualitas serta teknologi penunjang sarana kesehatan (Djalil, 2005).
 
Program yang dicanangkan oleh 2 (dua) kementrian tersebut merupakan angin segar bagi perbaikan kualitas layanan kesehatan di Indonesia. Akan tetapi berbagai macam kendala dan hambatan yang berpotensi untuk dapat mengganggu terwujudnya program tersebut tidaklah sedikit, salah satunya adalah kesiapan sumber daya manusia dalam mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi yang masih belum merata, adanya resistensi untuk berubah dari beberapa kalangan yang sudah merasa nyaman dengan metode dan prosedur yang ada saat ini serta faktor klasik lainnya yaitu karakteristik geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari berbagai macam pulau (Djalil, 2005).