Kamis, 06 April 2017

Rumah Sakit Harus "Sehat"

sumber: daftartempat.com

Membahas tentang implementasi BPJS Kesehatan memang tidak akan pernah ada habisnya, mulai dari cerita tentang masalah yang ditimbulkannya sampai dengan manfaatnya. Mari kita fokus kepada tata kelola fasilitas kesehatan yang bernama Rumah Sakit. Rumah Sakit adalah organisasi yang benar-benar merepresentasikan sebuah sistem integral yang sesungguhnya, mulai dari manajemen sumber daya manusia yang terbilang sangat kompleks (karena melibatkan beberapa profesi dengan egonya masing-masing), sistem penjadwalan sarana prasarana, manajemen keuangan, strategi pemasaran, manajemen persediaan farmasi, serta masalah lainnya. Rumah Sakit yang termasuk kedalam kategori milik Pemerintah atau Instansi TNI/POLRI sudah merupakan suatu kewajiban untuk melayani pasien BPJS Kesehatan sebagai suatu hal yang bersifat mandatory. Berbeda dengan Rumah Sakit milik Swasta, dimana mereka tetap memiliki kewajiban sebagai mitra BPJS Kesehatan namun tentunya masih diberi ruang untuk mengatur jumlah kuota peserta BPJS Kesehatan disesuaikan dengan kemampuan finansial dan operasionalnya. 

Permasalahan awal yang seringkali diungkapkan oleh para pimpinan dan manajemen Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta adalah adanya pergeseran cara pandang masyarakat Indonesia dimana dengan adanya BPJS Kesehatan dianggap sebagai sebuah “kado” atau “hadiah” dari Pemerintah untuk rakyatnya dalam upaya menggunakan dan memanfaatkan layanan kesehatan semaksimal mungkin. Atau dengan kata lain masyarakat yang dulunya belum terbiasa memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada, sekarang berbondong-bondong untuk memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan. Sehingga menjadi hal yang lumrah jika terjadinya antrian yang panjang di hampir sebagian besar Rumah Sakit. 

Apabila kita menggunakan cara pandang lama, memang sepertinya peningkatan jumlah pasien atau pengunjung di sebuah Rumah Sakit seolah-olah menjadi sebuah “berkah” karena dengan sendirinya akan meningkatkan pendapatan. Namun, hal tersebut tidaklah berlaku sejak era BPJS Kesehatan. Dimana visi dari implementasi BPJS Kesehatan adalah mengurangi angka kesakitan dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, dengan membludaknya angka kunjungan pasien ke sebuah Rumah Sakit akan berpotensi menimbulkan permasalahan baru dalam kondisi arus kas (cash flow) dan juga tingkat kebahagiaan tenaga medis maupun paramedis, karena dalam sistem BPJS Kesehatan seorang tenaga medis harus benar-benar mengikuti prosedur yang ada dalam melakukan diagnosis dan tindakan medis. Termasuk didalamnya berkaitan dengan jenis dan jumlah obat yang diberikan kepada pasien harus benar-benar sesuai dengan pagu yang telah ditetapkan oleh pihak BPJS Kesehatan yang akan berdampak kepada jumlah jasa medis yang diterimanya. Sehingga Rumah Sakit harus menanggung biaya akibat adanya ketidaksesuaian antara diagnosis dan tindakan medis dengan prosedur dan pagu yang telah ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Akibatnya banyak Rumah Sakit di Indonesia yang mengalami kesulitan keuangan atau bahkan hampir mengalami kolaps atau bangkrut karena tidak mampu menutup biaya operasionalnya. 

BPJS Kesehatan memang bukanlah satu-satunya alasan timbulnya permasalahan keuangan di beberapa Rumah Sakit tersebut. Ada banyak faktor yang harus diselesaikan secara komprehensif dan holistik. Misalnya Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif minim dan Rumah Sakit Swasta yang berada dibawah naungan suatu Yayasan atau Perusahaan dengan kondisi keuangan yang tidak stabil atau tidak memiliki unit bisnis lain sebagai penopang akan memiliki peluang lebih besar mengalami kesulitan keuangan. Namun, bukan berarti Rumah Sakit dengan “dana cadangan” yang memadai tidak akan menghadapi permasalahan keuangan juga.

Berikut penulis mencoba memberikan sedikitnya 3 (tiga) solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertama, pemanfaatan teknologi informasi mutlak dilakukan secara komprehensif. Sebagai contoh Rumah Sakit yang termasuk tipe A dan tipe B sudah saatnya menerapkan Enterprise Resources Planning (ERP) untuk tata kelola sistem yang terintegrasi. Jika sistem ERP diterapkan pada kedua tipe Rumah Sakit tersebut, pihak pimpinan akan dengan mudah melakukan monitoring terhadap operasional dan kondisi finansial secara real time dan online. ERP dimaksud tidak perlu memiliki nilai investasi yang “fantastis” seperti halnya SAP maupun ORACLE, namun yang harus bisa disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan Rumah Sakit tersebut, atau dengan memanfaatkan Sistem “Open ERP”. Kedua, sudah saatnya menjadikan Tenaga Medis dan Paramedis sebagai “Partner” dan “Human Capital”. Sehingga upaya menanamkan rasa memiliki yang tinggi terhadap keberlanjutan tempatnya bernaung akan menjadi efektif. Dampaknya adalah kesalahan administrasi yang dilakukan oleh tenaga medis atau paramedis yang akan berdampak pada tertundanya atau terganggunya proses pencairan dari pihak BPJS Kesehatan akan dapat dihindarkan. Ketiga, pimpinan dan manajemen Rumah Sakit sudah saatnya menyiapkan beberapa layanan yang sifatnya “Premium” dengan kualitas pelayanan dan sarana prasarana yang lebih baik. Layanan “Premium” ini memang ditujukan untuk pasien dengan segmen menengah keatas. Pihak pimpinan Rumah Sakit dapat menetapkan tarif yang lebih tinggi. Selain itu dapat menjalin kerjasama dengan beberapa Perusahaan Asuransi yang tergolong “Premium” juga, sehingga pendapatan yang masuk dapat dijadikan sebagai “Keuntungan Bersih” Rumah Sakit dan dapat membantu operasional layanan yang diperuntukkan bagi peserta BPJS Kesehatan. Tentunya Layanan “Premium” ini harus benar-benar terasa beda kualitasnya oleh pihak konsumen. Jangan sampai alih-alih untuk meningkatkan “keuntungan” Rumah Sakit malah akan menjadi “Beban Baru”. Layanan “Premium” setidaknya harus didukung pula oleh teknologi informasi dan komunikasi yang mumpuni sehingga pasien diposisikan sebagai mitra “Prioritas”. 

Artikel ini telah dimuat pada Rubrik Opini HU Pikiran Rakyat tanggal 6 April 2017

Selasa, 28 Maret 2017

Dokter dan Pembangunan

Tulisan ini diilhami dari kegagalan penulis menembus Fakultas Kedokteran 17 tahun yang lalu dikarenakan menderita buta warna parsial, yang menyebabkan mimpi dan cita-cita menjadi dokter harus ditutup rapat-rapat. Tapi kita harus senantiasa percaya kepada Takdir Ilahi yang terkadang berbeda dengan ekspektasi seorang manusia. Penulis teringat dengan ucapan H. Dedy Mizwar yang sangat terkenal pada sebuah serial religius ditayangkan secara rutin di sebuah televisi swasta yaitu “Ada Rahasia dibalik Rahasia”. Rahasia Alloh SWT itulah yang mengantarkan penulis kepada kepedulian yang sangat tinggi terhadap peran aktif sebuah profesi mulia di muka bumi ini yaitu dokter.
Dokter sampai saat ini masih merupakan profesi yang diidamkan oleh jutaan anak manusia khususnya di Indonesia. Dokter masih dianggap sebagai profesi yang dapat menjadi kebanggaan pihak keluarga. Dokter masih dianggap sebagai profesi yang dapat meningkatkan harkat dan martabat seseorang di lingkungan masyarakat. Dokter juga masih dianggap sebagai profesi yang secara cepat dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah. Serta dokter juga masih dianggap sebagai profesi yang memiliki nilai tambah tertinggi dibandingkan dengan profesi lainnya.
Semua pernyataan tersebut ada benarnya walaupun tidak dapat dikatakan 100% tepat. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena yang mungkin saja akan sangat sulit untuk dihilangkan dalam benak masyarakat secara umum. Tidak heran jika orang tua bersedia merogoh koceknya sangat dalam hanya untuk dapat menyekolahkan anaknya ke Fakultas Kedokteran (baik PTN maupun PTS), dengan harapan bahwa selepas anak tersebut lulus menjadi dokter dapat meningkatkan derajat kehormatan orang tua dan keluarga besarnya. Fenomena ini tidak serta merta dapat berjalan dengan mulus apabila sang anak ternyata tidak mendapatkan “passion-nya” di bidang kedokteran.
Terlepas dari fenomena tersebut, akhir-akhir ini masih hangat didalam ingatan kita profesi dokter kembali menjadi sorotan masyarakat dengan adanya kasus vaksin palsu. Kasus ini menyisakan beberapa kisah pilu yang menimpa profesi mulia ini, dimana masyarakat yang merasa dirugikan menjadikan dokter sebagai sasaran hujatan, cercaan, hinaan bahkan kekerasan secara fisik. Kasus ini disimpulkan oleh sebagian kalangan menyeret profesi mulia ini sebagai aktor utama yang harus bertanggung jawab secara penuh. Pertanyaan berikutnya adalah apakah adil dan wajar apabila kemarahan publik karena kasus vaksin palsu hanya menjadi tanggung jawab dokter? Tentunya kita semua sepakat bahwa kasus tersebut melibatkan sebuah sistem yang dikenal sebagai sistem tata kelola dan manajemen layanan kesehatan. Berarti dokter hanyalah sebuah entitas yang harus turut bertanggung jawab karena menjadi “eksekutor” akhir yang berhubungan langsung dengan pasien dan masyarakat.
Masalah lain yang tidak kalah seru adalah ditolaknya permohonan untuk meninjau kembali Pasal 66 Ayat (3) UU No 29/2004 oleh Mahkamah Konsutitusi beberapa waktu yang lalu, dimana seorang dokter akan sangat rentan untuk dipidanakan tanpa harus melalui pertimbangan matang dan sistematis dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Tentunya kita masih ingat dengan kasus dr. Prita vs RS Omni serta kasus dr. Ayu di Manado pada saat melakukan tindakan medis yang berujung pada masalah pidana. Ditambah dengan semakin gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya pencegahan gratifikasi yang juga menyentuh dunia praktik kedokteran baik yang menjadi Apartur Sipil Negara (ASN) maupun dokter swasta murni. Semua hal tersebut tentunya bukan tanpa sebab dan alasan. Kita harus secara jujur dan rendah hati mengakui bahwa hanya dikarenakan ulah para “oknum dokter” yang tidak bertanggung jawab berdampak sangat luas kepada marwah dan kehormatan profesi yang amat sangat mulia ini. Marilah kita mundur kebelakang melihat sosok dr. Cipto Mangunkusumo sebagai contoh nasional dan dr. Hasan Sadikin sebagai contoh lokal yang secara tulus dan sungguh-sungguh berupaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera, jauh sebelum adanya program JKN BPJS/KIS maupun Indonesia Sehat 2019. Artinya masih banyak dokter di Indonesia yang memiliki profil seperti dr. Cipto dan dr. Hasan Sadikin. Tengok saja bagaimana perjuangan para dokter “internship” yang akhirnya harus gugur pada saat mengabdikan ilmunya di daerah-daerah terpencil. Serta masih banyak contoh lainnya yang patut diteladani oleh para dokter.
Kita sadar bahwa tujuan utama dari Millennium Development Goals (MDGs) 2015 belum sepenuhnya tercapai. Lalu bagaimana peran dokter di Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan dibidang kesehatan serta dalam rangka menuju “Indonesia Sehat 2019”? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Penulis mencoba membagi solusi alternatif bagi para dokter agar benar-benar berperan nyata dalam pembangunan berkelanjutan dalam 5 (lima) point. Pertama, dokter harus dikembalikan lagi pada peran utamanya sebagai seorang profesional dalam kegiatan analisis, diagnosis, riset dan tindakan medis demi menyelesaikan persoalan kesehatan masyarakat. Artinya ada upaya mengurangi peran dokter dalam bidang struktural  yang tidak ada kaitan langsung dengan profesinya. Kedua, pendidikan dokter harus kembali terjangkau baik dari sisi biaya, akses maupun proporsi jatahnya untuk memperoleh SDM kedokteran yang benar-benar berkualitas. Kita harus mengapresiasi langkah yang dilakukan Rektor UNPAD bersama Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD yang “berani” membuat program pendidikan kedokteran gratis sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah distribusi dokter yang tidak seimbang antara kota dengan daerah. Ketiga, dokter harus mulai mewujudkan adanya kepastian waktu baik untuk menunggu maupun melakukan tindakan medis. Hal ini dapat didukung dengan teknologi informasi yang terintegrasi dan rekam medis dalam bentuk elektronik, sehingga sistem akan dengan mudah mengkalkulasi berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang dokter dalam melakukan tindakan medis sesuai diagnosisnya. Keempat, mulai dikuranginya sistem feodalisme yang tidak perlu dan diciptakannya kolaborasi nyata dengan profesi bidang kesehatan lainnya sebagai sebuah tim yang utuh, tanpa adanya superior maupun inferior. Kelima, peningkatan kemampuan komunikasi verbal seorang dokter agar terhindar dari adalah miskomunikasi maupun mispersepsi baik dengan sejawat maupun dengan pasien. Semangat terus para dokter Indonesia. Kami berhutang budi atas jerih payahmu demi terciptanya masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera. Tetap pegang teguh “sumpah mulia” sebagai dokter. Idealismemu akan sangat membantu menjaga nilai dan kehormatan profesi tetap berada pada posisi yang mulia.

Tulisan ini telah dimuat pada Harian Umum Pikiran Rakyat pada tanggal 7 September 2016