Selasa, 22 Mei 2018

Calon Presiden Dari Jalur Independen


Hingar bingar pesta demokrasi tahun 2019 sudah mulai meningkat temperaturnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari persaingan “cukup sengit” di Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 yang melibatkan 3 (tiga) daerah utama yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagian besar pakar dan pengamat politik di negeri ini memiliki prediksi bahwa hasil pada Pilkada 3 (tiga) daerah utama tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2019. Saya mungkin tergolong orang yang “terlalu” berani untuk menulis artikel ini, karena latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang jauh dari bidang politik maupun hukum tata negara. Namun, berbekal pengalaman mengikuti proses pendaftaran Calon Walikota Bandung melalui Jalur Independen (Perseorangan), setidaknya saya berusaha untuk membagikan pengalaman yang luar biasa tersebut dan mencoba menarik benang merahnya dengan kemungkinan adanya Calon Presiden dari Jalur Independen.
Jalur Independen untuk Pilkada pada awal digulirkannya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan respon yang sangat positif dari masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan tingginya animo masyarakat biasa yang berniat untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah baik pada tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Kota Bandung pun tidak ingin tertinggal, buktinya pada saat Pilkada tahun 2008 terdapat 1 (satu) pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota dari Jalur Independen yang mengikuti kontestasi. Puncaknya pada tahun 2013 terdapat 4 (empat) pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota dari jalur independen, dan hebatnya lagi salah satu pasangan calon independen walaupun belum menang, akan tetapi berhasil menembus posisi 4 (empat) besar mengalahkan salah satu pasangan calon yang diusung oleh Partai Golkar. Sebenarnya hasil yang cukup fenomenal pernah ditorehkan oleh calon dari jalur independen yaitu pasangan Aceng Fikri – Dicky Chandra yang berhasil memenangkan Pilkada Kabupten Garut beberapa waktu lalu, walaupun akhirnya mereka kandas di tengah perjalanan menjalankan amanahnya. Pasangan jalur independen lainnya yang berhasil memenangkan kontestasi Pilkada di Jawa Barat adalah Dadang M. Naser – Gungun Gunawan di Pilkada Kabupaten Bandung, walaupun jika bicara jujur pasangan ini bukanlah “murni” independen, karena latar belakang keduanya adalah Kader Partai Politik atau dengan kata lain “Independen Rasa Parpol”, serta kisah sukses pada Pilkada di daerah-daerah lainnya.
Antusiasme calon dari jalur independen seakan tidak surut pada Pilkada tahun 2018 di Kota Bandung. Setidaknya ada 3 (tiga) pasangan bakal calon dari jalur independen yang ikut mendaftar ke KPUD Kota Bandung pada 29 Nopember 2017 yang lalu termasuk salah satunya saya sendiri, walaupun pada akhirnya tidak satupun pasangan calon jalur independen yang lolos, sehingga Pilkada Kota Bandung 2018 menjadi kali pertama tanpa pasangan calon dari jalur independen. Salah satu faktor utama kegagalan para bakal calon Walikota Bandung di Pilkada 2018 tidak terlepas dari semakin beratnya jumlah minimal dukungan yaitu sebesar 6,5% dari total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau sekira 110.000 orang. Sebenarnya jika menilik kepada jumlah minimal dukungan, harusnya minimal ada 1 (satu) pasangan calon dari jalur independen di Pilkada Kota Bandung 2018 ini, namun berdasarkan pengalaman sendiri melakukan ikhtiar pengumpulan KTP selama 7 bulan (sejak Mei 2017 sampai dengan Nopember 2017), kendala utama yang dihadapi adalah masih banyaknya warga yang belum memiliki e-KTP dengan berbagai alasan mulai dari belum menerima e-KTP padahal sudah melakukan perekaman atau yang memang benar-benar belum melakukan perekaman sama sekali.
Menakar probabilitas atau kemungkinan adanya calon kepala daerah di tingkat Propinsi yang maju dari jalur independen sebenarnya cukup terbuka. Buktinya pada tahun 2013 terdapat 1 (satu) pasang calon dari jalur independen di Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018, walaupun nasibnya juga hampir sama dengan pasangan di tingkat Kabupaten/Kota yaitu kalah dalam kontestasi. Lalu bagaimana jika kita berangkat ke tingkatan yang lebih tinggi yaitu Pemilihan Presiden. Mungkinkah seorang warga negara biasa yang berbekal dukungan KTP minimal 6,5% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia yang memiliki hak pilih dapat berhasil maju sebagai calon presiden dari jalur independen? Jawabanya kenapa tidak mungkin seorang Presiden Republik Indonesia di masa yang akan datang justru berasal dari Jalur Independen.
Tantangan terbesar terwujud atau tidaknya calon presiden dari jalur independen sangatlah bergantung kepada peraturan perundangan yang mengaturnya. Menurut hemat saya, selama Undang-Undang PEMILU, MD3 maupun Peraturan KPU masih ditentukan oleh para legislator di DPR RI yang notabenenya adalah representasi dari Partai Politik, niatan untuk mewujudkan calon Presiden dari Jalur Independen sangatlah sulit untuk terealisasi dalam waktu dekat, namun bukan berarti 100% mustahil. Artinya, selama kewenangan DPR RI masih dominan, sebagai warga biasa kita masih akan berkutat pada tatanan wacana, studi, kajian ilmiah dan harapan terhadap munculnya calon presiden dari jalur independen, sebab kita tidak mengenal adanya “Fraksi Independen” di tingkat DPR RI, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota seperti halnya pada masa Orde Baru kita kenal ada Fraksi Utusan Daerah (sekarang bertransformasi menjadi Dewan Perwakilan Daerah) dan Fraksi Utusan Golongan. Mengapa saya menyinggung tentang “Fraksi Independen” di DPR? Alasannya sangat sederhana, jika kita ingin mewujudkan adanya Presiden dari jalur independen tentunya harus didukung dengan perangkat di DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota bernama Fraksi Independen. Fraksi Independen ini diharapkan dapat menjadi “pendukung dan penyokong” utama Sang Presiden dan juga alat kontrol bagi kinerja yang bersangkutan, sehingga pada saat Presiden akan membuat suatu kebijakan strategis dengan sendirinya memperoleh dukungan yang kuat dan legal di tingkat Parlemen. Begitu juga berlaku untuk Gubernur dan Walikota/Bupati dari Jalur Independen. Prakteknya selama ini, para Kepala Daerah yang berasal dari Jalur Independen akhirnya “terpaksa” merapat dan melakukan “kompromi” dengan Partai Politik di DPRD untuk sekedar mendapatkan dukungan pada saat mengeluarkan kebijakan strategis daerah melalui Peraturan Daerah (Perda), bahkan tidak sedikit Kepala Daerah dari Jalur Independen ini akhirnya berlabuh ke Partai Politik dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan jabatan dan kekuasaannya. Lalu siapakah yang pantas menjadi anggota Fraksi Independen di DPR, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota? Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya perlu dilakukan kajian ilmiah yang mendalam serta diskusi produktif dengan para pakar politik dan hukum tata negara agar pada akhirnya memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
Sebagai penutup, berdasarkan hasil analisis sederhana yang saya lakukan serta didukung oleh pengalaman sebagai bakal calon walikota dari Jalur Independen jika kita boleh berandai-andai setidaknya butuh waktu 10 (sepuluh) tahun dari sekarang untuk mempersiapkan dokumen administrasi dalam rangka mewujudkan peraturan perundangan tentang Calon Presiden dari Jalur Independen, juga proses seleksi orang-orang yang dianggap mumpuni untuk dapat diusung sebagai calon presiden jalur independen, serta melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat luas tentang rencana calon presiden jalur independen sekaligus dengan proses pengumpulan e-KTP sebagai bukti dukungan yang sah. Artinya jika semua proses ikhtiar tersebut diberi kelancaran, pada tahun 2029 kita dapat menjadi saksi sejarah munculnya Calon Presiden dari Jalur Independen. Semoga!

Wajib Kerja Dokter Spesialis?


Ada hal yang sangat menarik pada saat Forum Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Bidang Kesehatan Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat tanggal 29 Maret 2017 yang lalu berkaitan dengan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Paparan tentang WKDS pada acara tersebut disampaikan oleh Dr. Yoni Fuadah Syukriani, dr., MSi., Sp.F., DFM. (Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD) dan Dra. Hj. Oos Fatimah Rosyati, M.Kes. (BPPSDMK Kementerian Kesehatan RI). WKDS merujuk kepada Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang wajib kerja dokter spesialis. WKDS efektif berlaku sejak tanggal 12 Januari 2017, artinya semua dokter spesialis yang lulus setelah tanggal tersebut wajib mengkuti program WKDS tanpa kecuali, karena sanksi kepada yang melanggar langsung berasal dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Implikasi positif dari WKDS adalah perbaikan sistem distribusi dokter spesialis khususnya pada daerah terpencil maupun daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain. Konsekuensi dari penerapan WKDS antara lain peserta wajib mengikuti program minimal selama 1 (satu) tahun. Surat Tanda Registrasi (STR) hanya 1 (satu) lembar yang dapat digunakan dari total 3 (tiga) lembar yang diterima seorang dokter spesialis, artinya yang bersangkutan hanya boleh praktik pada 1 (satu) fasilitas kesehatan saja yang ditentukan oleh Pemerintah. Insentif yang diterima dokter spesialis selama mengikuti program WKDS minimal berkisar antara 23-30 juta rupiah per bulannya. Spesialisasi yang mengikuti WKDS pada tahap awal ini adalah spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis anak, spesialis penyakit dalam, spesialis bedah serta spesialis anestesi & terapi intensif.
Informasi yang disampaikan oleh narasumber pada Forum OPD Bidang Kesehatan Propinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa rasio jumlah dokter spesialis dibandingkan dengan jumlah penduduk di Jawa Barat sudah cukup baik yaitu sekitar 10 dokter spesialis per 100.000 orang. Atau dengan kata lain rasio tersebut sudah sesuai dengan target secara nasional. Angka tersebut sebenarnya masih menyimpan pertanyaan besar khususnya terkait dengan pola distribusinya di Jawa Barat. Walaupun secara rasio baik, namun penulis memiliki dugaan kuat bahwa distribusinya masih belum merata. Hal ini ditunjang oleh hasil penelitian penulis selama periode 2011-2015 terhadap 5 (lima) rumah sakit pendidikan di Indonesia salah satunya RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Responden penelitian yang sebagian besar adalah dokter peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) pada Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan Departemen Obstetri & Ginekologi menyatakan akan tetap berkarir di kota-kota besar yang telah memiliki fasilitas kesehatan memadai dibanding memilih merintis praktik pada daerah-daerah terpencil, kecuali PPDS yang memang merupakan utusan daerah dengan fasilitas beasiswa dari Pemerintah. Artinya untuk kasus di Jawa Barat besar kemungkinan bahwa distribusi dokter spesialis khususnya bagian dasar yang menjadi prioritas WKDS masih terpusat pada kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, Bekasi, Karawang, Cirebon maupun Tasikmalaya.
Program yang dirancang oleh Fakultas Kedokteran (FK) UNPAD untuk mendukung WKDS penulis nilai cukup baik, khususnya dengan mekanisme beasiswa kerjasama dengan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota maupun Propinsi) dimana seorang PPDS FK UNPAD memiliki kewajiban mengabdi di daerah selama N tahun. Sebagai contoh jika seorang PPDS Bagian Anak menempuh pendidikan spesialisasinya selama 5 (lima) tahun, maka yang bersangkutan memiliki kewajiban mengabdi selama 5 (lima) tahun juga, dimana 1 (satu) tahun adalah merupakan bagian dari WKDS ditambah 4 (empat) tahun sebagai komitmen kepada FK UNPAD dan daerah pengirim. Artinya solusi yang diberikan oleh FK UNPAD setidaknya telah membantu memecahkan permasalahan keberlanjutan program WKDS dalam rangka pemerataan dokter spesialis di Jawa Barat secara umum, yang pada akhirnya tujuan peningkatkan kualitas kesehatan masyarakat menjadi semakin dekat untuk diwujudkan. Mengapa dikatakan sebagai solusi untuk tingkat keberlanjutan? Tentunya pernyataan tersebut bukanlah tanpa dasar yang kuat. Berdasarkan hasil penelitian penulis khususnya pada tahun 2013, menunjukkan bahwa kurikulum yang telah disusun masing-masing Departemen dibawah naungan FK UNPAD sebenarnya sudah merujuk kepada konteks “Turn Over” yang efektif, atau dengan kata lain harus ada keseimbangan antara jumlah PPDS yang direkrut dengan dokter spesialis yang dihasilkan serta tetap memegang teguh kualitas diatas segalanya. Namun, pada kenyataannya angka “Turn Over” bukanlah sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Banyak hal yang dapat menghambat lancarnya implementasi Pendidikan Dokter Spesialis, tidak hanya di FK UNPAD namun berlaku secara umum di negeri ini, baik yang sifatnya dapat dikendalikan oleh pihak penyelenggara pendidikan (dalam hal ini FK UNPAD maupun masing-masing Departemen) maupun faktor yang murni berasal dari individu PPDS itu sendiri.
Terlepas dari masalah “Turn Over” yang belum dapat diwujudkan dalam waktu dekat, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan di bidang kesehatan dalam mendukung program WKDS. Pertama, inventarisasi jumlah kebutuhan dokter spesialis di masing-masing Kabupaten dan Kota harus benar-benar valid dengan memperhatikan prediksi waktu purnabakti dokter “eksisting” dan juga pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan di daerah tersebut. Sehingga kuota PPDS yang direkrut setiap periodenya benar-benar sesuai kebutuhan daerah tujuan. Kedua, Kepala Dinas Kesehatan di daerah bekerjasama dengan Pimpinan Rumah Sakit tempat implementasi WKDS mewujudkan suasana kerja yang kondusif dan memacu peserta untuk mengembangkan konsep “depend on system” dan bukannya “depend on person”. Artinya setelah mereka selesai mengikuti program WKDS tetap memiliki motivasi untuk memajukan fasilitas kesehatan daerah dibandingkan dengan harus kembali ke kota besar menjadi Dokter Praktek “Partikelir”. Ketiga, bidang Teknik Industri yang penulis geluti setidaknya dapat membantu Pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki sistem dan proses bisnis di Rumah Sakit tempat pelaksanaan program WKDS menjadi lebih efektif dan efisien dengan konsep “LEAN HOSPITAL”. Semoga WKDS benar-benar mampu menyelesaikan masalah distribusi dokter spesialis, dan semoga WKDS bukan hanya dijadikan “Proyek Sementara Waktu”, namun harus menjadi Sistem yang berjalan secara berkesinambungan dan berkelanjutan.

Sumber foto: kaltim.tribunnews.com