Selasa, 22 Mei 2018

Calon Presiden Dari Jalur Independen


Hingar bingar pesta demokrasi tahun 2019 sudah mulai meningkat temperaturnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari persaingan “cukup sengit” di Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 yang melibatkan 3 (tiga) daerah utama yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagian besar pakar dan pengamat politik di negeri ini memiliki prediksi bahwa hasil pada Pilkada 3 (tiga) daerah utama tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2019. Saya mungkin tergolong orang yang “terlalu” berani untuk menulis artikel ini, karena latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang jauh dari bidang politik maupun hukum tata negara. Namun, berbekal pengalaman mengikuti proses pendaftaran Calon Walikota Bandung melalui Jalur Independen (Perseorangan), setidaknya saya berusaha untuk membagikan pengalaman yang luar biasa tersebut dan mencoba menarik benang merahnya dengan kemungkinan adanya Calon Presiden dari Jalur Independen.
Jalur Independen untuk Pilkada pada awal digulirkannya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan respon yang sangat positif dari masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan tingginya animo masyarakat biasa yang berniat untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah baik pada tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Kota Bandung pun tidak ingin tertinggal, buktinya pada saat Pilkada tahun 2008 terdapat 1 (satu) pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota dari Jalur Independen yang mengikuti kontestasi. Puncaknya pada tahun 2013 terdapat 4 (empat) pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota dari jalur independen, dan hebatnya lagi salah satu pasangan calon independen walaupun belum menang, akan tetapi berhasil menembus posisi 4 (empat) besar mengalahkan salah satu pasangan calon yang diusung oleh Partai Golkar. Sebenarnya hasil yang cukup fenomenal pernah ditorehkan oleh calon dari jalur independen yaitu pasangan Aceng Fikri – Dicky Chandra yang berhasil memenangkan Pilkada Kabupten Garut beberapa waktu lalu, walaupun akhirnya mereka kandas di tengah perjalanan menjalankan amanahnya. Pasangan jalur independen lainnya yang berhasil memenangkan kontestasi Pilkada di Jawa Barat adalah Dadang M. Naser – Gungun Gunawan di Pilkada Kabupaten Bandung, walaupun jika bicara jujur pasangan ini bukanlah “murni” independen, karena latar belakang keduanya adalah Kader Partai Politik atau dengan kata lain “Independen Rasa Parpol”, serta kisah sukses pada Pilkada di daerah-daerah lainnya.
Antusiasme calon dari jalur independen seakan tidak surut pada Pilkada tahun 2018 di Kota Bandung. Setidaknya ada 3 (tiga) pasangan bakal calon dari jalur independen yang ikut mendaftar ke KPUD Kota Bandung pada 29 Nopember 2017 yang lalu termasuk salah satunya saya sendiri, walaupun pada akhirnya tidak satupun pasangan calon jalur independen yang lolos, sehingga Pilkada Kota Bandung 2018 menjadi kali pertama tanpa pasangan calon dari jalur independen. Salah satu faktor utama kegagalan para bakal calon Walikota Bandung di Pilkada 2018 tidak terlepas dari semakin beratnya jumlah minimal dukungan yaitu sebesar 6,5% dari total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau sekira 110.000 orang. Sebenarnya jika menilik kepada jumlah minimal dukungan, harusnya minimal ada 1 (satu) pasangan calon dari jalur independen di Pilkada Kota Bandung 2018 ini, namun berdasarkan pengalaman sendiri melakukan ikhtiar pengumpulan KTP selama 7 bulan (sejak Mei 2017 sampai dengan Nopember 2017), kendala utama yang dihadapi adalah masih banyaknya warga yang belum memiliki e-KTP dengan berbagai alasan mulai dari belum menerima e-KTP padahal sudah melakukan perekaman atau yang memang benar-benar belum melakukan perekaman sama sekali.
Menakar probabilitas atau kemungkinan adanya calon kepala daerah di tingkat Propinsi yang maju dari jalur independen sebenarnya cukup terbuka. Buktinya pada tahun 2013 terdapat 1 (satu) pasang calon dari jalur independen di Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018, walaupun nasibnya juga hampir sama dengan pasangan di tingkat Kabupaten/Kota yaitu kalah dalam kontestasi. Lalu bagaimana jika kita berangkat ke tingkatan yang lebih tinggi yaitu Pemilihan Presiden. Mungkinkah seorang warga negara biasa yang berbekal dukungan KTP minimal 6,5% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia yang memiliki hak pilih dapat berhasil maju sebagai calon presiden dari jalur independen? Jawabanya kenapa tidak mungkin seorang Presiden Republik Indonesia di masa yang akan datang justru berasal dari Jalur Independen.
Tantangan terbesar terwujud atau tidaknya calon presiden dari jalur independen sangatlah bergantung kepada peraturan perundangan yang mengaturnya. Menurut hemat saya, selama Undang-Undang PEMILU, MD3 maupun Peraturan KPU masih ditentukan oleh para legislator di DPR RI yang notabenenya adalah representasi dari Partai Politik, niatan untuk mewujudkan calon Presiden dari Jalur Independen sangatlah sulit untuk terealisasi dalam waktu dekat, namun bukan berarti 100% mustahil. Artinya, selama kewenangan DPR RI masih dominan, sebagai warga biasa kita masih akan berkutat pada tatanan wacana, studi, kajian ilmiah dan harapan terhadap munculnya calon presiden dari jalur independen, sebab kita tidak mengenal adanya “Fraksi Independen” di tingkat DPR RI, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota seperti halnya pada masa Orde Baru kita kenal ada Fraksi Utusan Daerah (sekarang bertransformasi menjadi Dewan Perwakilan Daerah) dan Fraksi Utusan Golongan. Mengapa saya menyinggung tentang “Fraksi Independen” di DPR? Alasannya sangat sederhana, jika kita ingin mewujudkan adanya Presiden dari jalur independen tentunya harus didukung dengan perangkat di DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota bernama Fraksi Independen. Fraksi Independen ini diharapkan dapat menjadi “pendukung dan penyokong” utama Sang Presiden dan juga alat kontrol bagi kinerja yang bersangkutan, sehingga pada saat Presiden akan membuat suatu kebijakan strategis dengan sendirinya memperoleh dukungan yang kuat dan legal di tingkat Parlemen. Begitu juga berlaku untuk Gubernur dan Walikota/Bupati dari Jalur Independen. Prakteknya selama ini, para Kepala Daerah yang berasal dari Jalur Independen akhirnya “terpaksa” merapat dan melakukan “kompromi” dengan Partai Politik di DPRD untuk sekedar mendapatkan dukungan pada saat mengeluarkan kebijakan strategis daerah melalui Peraturan Daerah (Perda), bahkan tidak sedikit Kepala Daerah dari Jalur Independen ini akhirnya berlabuh ke Partai Politik dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan jabatan dan kekuasaannya. Lalu siapakah yang pantas menjadi anggota Fraksi Independen di DPR, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota? Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya perlu dilakukan kajian ilmiah yang mendalam serta diskusi produktif dengan para pakar politik dan hukum tata negara agar pada akhirnya memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
Sebagai penutup, berdasarkan hasil analisis sederhana yang saya lakukan serta didukung oleh pengalaman sebagai bakal calon walikota dari Jalur Independen jika kita boleh berandai-andai setidaknya butuh waktu 10 (sepuluh) tahun dari sekarang untuk mempersiapkan dokumen administrasi dalam rangka mewujudkan peraturan perundangan tentang Calon Presiden dari Jalur Independen, juga proses seleksi orang-orang yang dianggap mumpuni untuk dapat diusung sebagai calon presiden jalur independen, serta melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat luas tentang rencana calon presiden jalur independen sekaligus dengan proses pengumpulan e-KTP sebagai bukti dukungan yang sah. Artinya jika semua proses ikhtiar tersebut diberi kelancaran, pada tahun 2029 kita dapat menjadi saksi sejarah munculnya Calon Presiden dari Jalur Independen. Semoga!

Wajib Kerja Dokter Spesialis?


Ada hal yang sangat menarik pada saat Forum Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Bidang Kesehatan Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat tanggal 29 Maret 2017 yang lalu berkaitan dengan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Paparan tentang WKDS pada acara tersebut disampaikan oleh Dr. Yoni Fuadah Syukriani, dr., MSi., Sp.F., DFM. (Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD) dan Dra. Hj. Oos Fatimah Rosyati, M.Kes. (BPPSDMK Kementerian Kesehatan RI). WKDS merujuk kepada Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang wajib kerja dokter spesialis. WKDS efektif berlaku sejak tanggal 12 Januari 2017, artinya semua dokter spesialis yang lulus setelah tanggal tersebut wajib mengkuti program WKDS tanpa kecuali, karena sanksi kepada yang melanggar langsung berasal dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Implikasi positif dari WKDS adalah perbaikan sistem distribusi dokter spesialis khususnya pada daerah terpencil maupun daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain. Konsekuensi dari penerapan WKDS antara lain peserta wajib mengikuti program minimal selama 1 (satu) tahun. Surat Tanda Registrasi (STR) hanya 1 (satu) lembar yang dapat digunakan dari total 3 (tiga) lembar yang diterima seorang dokter spesialis, artinya yang bersangkutan hanya boleh praktik pada 1 (satu) fasilitas kesehatan saja yang ditentukan oleh Pemerintah. Insentif yang diterima dokter spesialis selama mengikuti program WKDS minimal berkisar antara 23-30 juta rupiah per bulannya. Spesialisasi yang mengikuti WKDS pada tahap awal ini adalah spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis anak, spesialis penyakit dalam, spesialis bedah serta spesialis anestesi & terapi intensif.
Informasi yang disampaikan oleh narasumber pada Forum OPD Bidang Kesehatan Propinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa rasio jumlah dokter spesialis dibandingkan dengan jumlah penduduk di Jawa Barat sudah cukup baik yaitu sekitar 10 dokter spesialis per 100.000 orang. Atau dengan kata lain rasio tersebut sudah sesuai dengan target secara nasional. Angka tersebut sebenarnya masih menyimpan pertanyaan besar khususnya terkait dengan pola distribusinya di Jawa Barat. Walaupun secara rasio baik, namun penulis memiliki dugaan kuat bahwa distribusinya masih belum merata. Hal ini ditunjang oleh hasil penelitian penulis selama periode 2011-2015 terhadap 5 (lima) rumah sakit pendidikan di Indonesia salah satunya RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Responden penelitian yang sebagian besar adalah dokter peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) pada Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan Departemen Obstetri & Ginekologi menyatakan akan tetap berkarir di kota-kota besar yang telah memiliki fasilitas kesehatan memadai dibanding memilih merintis praktik pada daerah-daerah terpencil, kecuali PPDS yang memang merupakan utusan daerah dengan fasilitas beasiswa dari Pemerintah. Artinya untuk kasus di Jawa Barat besar kemungkinan bahwa distribusi dokter spesialis khususnya bagian dasar yang menjadi prioritas WKDS masih terpusat pada kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, Bekasi, Karawang, Cirebon maupun Tasikmalaya.
Program yang dirancang oleh Fakultas Kedokteran (FK) UNPAD untuk mendukung WKDS penulis nilai cukup baik, khususnya dengan mekanisme beasiswa kerjasama dengan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota maupun Propinsi) dimana seorang PPDS FK UNPAD memiliki kewajiban mengabdi di daerah selama N tahun. Sebagai contoh jika seorang PPDS Bagian Anak menempuh pendidikan spesialisasinya selama 5 (lima) tahun, maka yang bersangkutan memiliki kewajiban mengabdi selama 5 (lima) tahun juga, dimana 1 (satu) tahun adalah merupakan bagian dari WKDS ditambah 4 (empat) tahun sebagai komitmen kepada FK UNPAD dan daerah pengirim. Artinya solusi yang diberikan oleh FK UNPAD setidaknya telah membantu memecahkan permasalahan keberlanjutan program WKDS dalam rangka pemerataan dokter spesialis di Jawa Barat secara umum, yang pada akhirnya tujuan peningkatkan kualitas kesehatan masyarakat menjadi semakin dekat untuk diwujudkan. Mengapa dikatakan sebagai solusi untuk tingkat keberlanjutan? Tentunya pernyataan tersebut bukanlah tanpa dasar yang kuat. Berdasarkan hasil penelitian penulis khususnya pada tahun 2013, menunjukkan bahwa kurikulum yang telah disusun masing-masing Departemen dibawah naungan FK UNPAD sebenarnya sudah merujuk kepada konteks “Turn Over” yang efektif, atau dengan kata lain harus ada keseimbangan antara jumlah PPDS yang direkrut dengan dokter spesialis yang dihasilkan serta tetap memegang teguh kualitas diatas segalanya. Namun, pada kenyataannya angka “Turn Over” bukanlah sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Banyak hal yang dapat menghambat lancarnya implementasi Pendidikan Dokter Spesialis, tidak hanya di FK UNPAD namun berlaku secara umum di negeri ini, baik yang sifatnya dapat dikendalikan oleh pihak penyelenggara pendidikan (dalam hal ini FK UNPAD maupun masing-masing Departemen) maupun faktor yang murni berasal dari individu PPDS itu sendiri.
Terlepas dari masalah “Turn Over” yang belum dapat diwujudkan dalam waktu dekat, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan di bidang kesehatan dalam mendukung program WKDS. Pertama, inventarisasi jumlah kebutuhan dokter spesialis di masing-masing Kabupaten dan Kota harus benar-benar valid dengan memperhatikan prediksi waktu purnabakti dokter “eksisting” dan juga pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan di daerah tersebut. Sehingga kuota PPDS yang direkrut setiap periodenya benar-benar sesuai kebutuhan daerah tujuan. Kedua, Kepala Dinas Kesehatan di daerah bekerjasama dengan Pimpinan Rumah Sakit tempat implementasi WKDS mewujudkan suasana kerja yang kondusif dan memacu peserta untuk mengembangkan konsep “depend on system” dan bukannya “depend on person”. Artinya setelah mereka selesai mengikuti program WKDS tetap memiliki motivasi untuk memajukan fasilitas kesehatan daerah dibandingkan dengan harus kembali ke kota besar menjadi Dokter Praktek “Partikelir”. Ketiga, bidang Teknik Industri yang penulis geluti setidaknya dapat membantu Pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki sistem dan proses bisnis di Rumah Sakit tempat pelaksanaan program WKDS menjadi lebih efektif dan efisien dengan konsep “LEAN HOSPITAL”. Semoga WKDS benar-benar mampu menyelesaikan masalah distribusi dokter spesialis, dan semoga WKDS bukan hanya dijadikan “Proyek Sementara Waktu”, namun harus menjadi Sistem yang berjalan secara berkesinambungan dan berkelanjutan.

Sumber foto: kaltim.tribunnews.com

Kamis, 06 April 2017

Rumah Sakit Harus "Sehat"

sumber: daftartempat.com

Membahas tentang implementasi BPJS Kesehatan memang tidak akan pernah ada habisnya, mulai dari cerita tentang masalah yang ditimbulkannya sampai dengan manfaatnya. Mari kita fokus kepada tata kelola fasilitas kesehatan yang bernama Rumah Sakit. Rumah Sakit adalah organisasi yang benar-benar merepresentasikan sebuah sistem integral yang sesungguhnya, mulai dari manajemen sumber daya manusia yang terbilang sangat kompleks (karena melibatkan beberapa profesi dengan egonya masing-masing), sistem penjadwalan sarana prasarana, manajemen keuangan, strategi pemasaran, manajemen persediaan farmasi, serta masalah lainnya. Rumah Sakit yang termasuk kedalam kategori milik Pemerintah atau Instansi TNI/POLRI sudah merupakan suatu kewajiban untuk melayani pasien BPJS Kesehatan sebagai suatu hal yang bersifat mandatory. Berbeda dengan Rumah Sakit milik Swasta, dimana mereka tetap memiliki kewajiban sebagai mitra BPJS Kesehatan namun tentunya masih diberi ruang untuk mengatur jumlah kuota peserta BPJS Kesehatan disesuaikan dengan kemampuan finansial dan operasionalnya. 

Permasalahan awal yang seringkali diungkapkan oleh para pimpinan dan manajemen Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta adalah adanya pergeseran cara pandang masyarakat Indonesia dimana dengan adanya BPJS Kesehatan dianggap sebagai sebuah “kado” atau “hadiah” dari Pemerintah untuk rakyatnya dalam upaya menggunakan dan memanfaatkan layanan kesehatan semaksimal mungkin. Atau dengan kata lain masyarakat yang dulunya belum terbiasa memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada, sekarang berbondong-bondong untuk memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan. Sehingga menjadi hal yang lumrah jika terjadinya antrian yang panjang di hampir sebagian besar Rumah Sakit. 

Apabila kita menggunakan cara pandang lama, memang sepertinya peningkatan jumlah pasien atau pengunjung di sebuah Rumah Sakit seolah-olah menjadi sebuah “berkah” karena dengan sendirinya akan meningkatkan pendapatan. Namun, hal tersebut tidaklah berlaku sejak era BPJS Kesehatan. Dimana visi dari implementasi BPJS Kesehatan adalah mengurangi angka kesakitan dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, dengan membludaknya angka kunjungan pasien ke sebuah Rumah Sakit akan berpotensi menimbulkan permasalahan baru dalam kondisi arus kas (cash flow) dan juga tingkat kebahagiaan tenaga medis maupun paramedis, karena dalam sistem BPJS Kesehatan seorang tenaga medis harus benar-benar mengikuti prosedur yang ada dalam melakukan diagnosis dan tindakan medis. Termasuk didalamnya berkaitan dengan jenis dan jumlah obat yang diberikan kepada pasien harus benar-benar sesuai dengan pagu yang telah ditetapkan oleh pihak BPJS Kesehatan yang akan berdampak kepada jumlah jasa medis yang diterimanya. Sehingga Rumah Sakit harus menanggung biaya akibat adanya ketidaksesuaian antara diagnosis dan tindakan medis dengan prosedur dan pagu yang telah ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Akibatnya banyak Rumah Sakit di Indonesia yang mengalami kesulitan keuangan atau bahkan hampir mengalami kolaps atau bangkrut karena tidak mampu menutup biaya operasionalnya. 

BPJS Kesehatan memang bukanlah satu-satunya alasan timbulnya permasalahan keuangan di beberapa Rumah Sakit tersebut. Ada banyak faktor yang harus diselesaikan secara komprehensif dan holistik. Misalnya Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif minim dan Rumah Sakit Swasta yang berada dibawah naungan suatu Yayasan atau Perusahaan dengan kondisi keuangan yang tidak stabil atau tidak memiliki unit bisnis lain sebagai penopang akan memiliki peluang lebih besar mengalami kesulitan keuangan. Namun, bukan berarti Rumah Sakit dengan “dana cadangan” yang memadai tidak akan menghadapi permasalahan keuangan juga.

Berikut penulis mencoba memberikan sedikitnya 3 (tiga) solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertama, pemanfaatan teknologi informasi mutlak dilakukan secara komprehensif. Sebagai contoh Rumah Sakit yang termasuk tipe A dan tipe B sudah saatnya menerapkan Enterprise Resources Planning (ERP) untuk tata kelola sistem yang terintegrasi. Jika sistem ERP diterapkan pada kedua tipe Rumah Sakit tersebut, pihak pimpinan akan dengan mudah melakukan monitoring terhadap operasional dan kondisi finansial secara real time dan online. ERP dimaksud tidak perlu memiliki nilai investasi yang “fantastis” seperti halnya SAP maupun ORACLE, namun yang harus bisa disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan Rumah Sakit tersebut, atau dengan memanfaatkan Sistem “Open ERP”. Kedua, sudah saatnya menjadikan Tenaga Medis dan Paramedis sebagai “Partner” dan “Human Capital”. Sehingga upaya menanamkan rasa memiliki yang tinggi terhadap keberlanjutan tempatnya bernaung akan menjadi efektif. Dampaknya adalah kesalahan administrasi yang dilakukan oleh tenaga medis atau paramedis yang akan berdampak pada tertundanya atau terganggunya proses pencairan dari pihak BPJS Kesehatan akan dapat dihindarkan. Ketiga, pimpinan dan manajemen Rumah Sakit sudah saatnya menyiapkan beberapa layanan yang sifatnya “Premium” dengan kualitas pelayanan dan sarana prasarana yang lebih baik. Layanan “Premium” ini memang ditujukan untuk pasien dengan segmen menengah keatas. Pihak pimpinan Rumah Sakit dapat menetapkan tarif yang lebih tinggi. Selain itu dapat menjalin kerjasama dengan beberapa Perusahaan Asuransi yang tergolong “Premium” juga, sehingga pendapatan yang masuk dapat dijadikan sebagai “Keuntungan Bersih” Rumah Sakit dan dapat membantu operasional layanan yang diperuntukkan bagi peserta BPJS Kesehatan. Tentunya Layanan “Premium” ini harus benar-benar terasa beda kualitasnya oleh pihak konsumen. Jangan sampai alih-alih untuk meningkatkan “keuntungan” Rumah Sakit malah akan menjadi “Beban Baru”. Layanan “Premium” setidaknya harus didukung pula oleh teknologi informasi dan komunikasi yang mumpuni sehingga pasien diposisikan sebagai mitra “Prioritas”. 

Artikel ini telah dimuat pada Rubrik Opini HU Pikiran Rakyat tanggal 6 April 2017

Selasa, 28 Maret 2017

Dokter dan Pembangunan

Tulisan ini diilhami dari kegagalan penulis menembus Fakultas Kedokteran 17 tahun yang lalu dikarenakan menderita buta warna parsial, yang menyebabkan mimpi dan cita-cita menjadi dokter harus ditutup rapat-rapat. Tapi kita harus senantiasa percaya kepada Takdir Ilahi yang terkadang berbeda dengan ekspektasi seorang manusia. Penulis teringat dengan ucapan H. Dedy Mizwar yang sangat terkenal pada sebuah serial religius ditayangkan secara rutin di sebuah televisi swasta yaitu “Ada Rahasia dibalik Rahasia”. Rahasia Alloh SWT itulah yang mengantarkan penulis kepada kepedulian yang sangat tinggi terhadap peran aktif sebuah profesi mulia di muka bumi ini yaitu dokter.
Dokter sampai saat ini masih merupakan profesi yang diidamkan oleh jutaan anak manusia khususnya di Indonesia. Dokter masih dianggap sebagai profesi yang dapat menjadi kebanggaan pihak keluarga. Dokter masih dianggap sebagai profesi yang dapat meningkatkan harkat dan martabat seseorang di lingkungan masyarakat. Dokter juga masih dianggap sebagai profesi yang secara cepat dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah. Serta dokter juga masih dianggap sebagai profesi yang memiliki nilai tambah tertinggi dibandingkan dengan profesi lainnya.
Semua pernyataan tersebut ada benarnya walaupun tidak dapat dikatakan 100% tepat. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena yang mungkin saja akan sangat sulit untuk dihilangkan dalam benak masyarakat secara umum. Tidak heran jika orang tua bersedia merogoh koceknya sangat dalam hanya untuk dapat menyekolahkan anaknya ke Fakultas Kedokteran (baik PTN maupun PTS), dengan harapan bahwa selepas anak tersebut lulus menjadi dokter dapat meningkatkan derajat kehormatan orang tua dan keluarga besarnya. Fenomena ini tidak serta merta dapat berjalan dengan mulus apabila sang anak ternyata tidak mendapatkan “passion-nya” di bidang kedokteran.
Terlepas dari fenomena tersebut, akhir-akhir ini masih hangat didalam ingatan kita profesi dokter kembali menjadi sorotan masyarakat dengan adanya kasus vaksin palsu. Kasus ini menyisakan beberapa kisah pilu yang menimpa profesi mulia ini, dimana masyarakat yang merasa dirugikan menjadikan dokter sebagai sasaran hujatan, cercaan, hinaan bahkan kekerasan secara fisik. Kasus ini disimpulkan oleh sebagian kalangan menyeret profesi mulia ini sebagai aktor utama yang harus bertanggung jawab secara penuh. Pertanyaan berikutnya adalah apakah adil dan wajar apabila kemarahan publik karena kasus vaksin palsu hanya menjadi tanggung jawab dokter? Tentunya kita semua sepakat bahwa kasus tersebut melibatkan sebuah sistem yang dikenal sebagai sistem tata kelola dan manajemen layanan kesehatan. Berarti dokter hanyalah sebuah entitas yang harus turut bertanggung jawab karena menjadi “eksekutor” akhir yang berhubungan langsung dengan pasien dan masyarakat.
Masalah lain yang tidak kalah seru adalah ditolaknya permohonan untuk meninjau kembali Pasal 66 Ayat (3) UU No 29/2004 oleh Mahkamah Konsutitusi beberapa waktu yang lalu, dimana seorang dokter akan sangat rentan untuk dipidanakan tanpa harus melalui pertimbangan matang dan sistematis dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Tentunya kita masih ingat dengan kasus dr. Prita vs RS Omni serta kasus dr. Ayu di Manado pada saat melakukan tindakan medis yang berujung pada masalah pidana. Ditambah dengan semakin gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya pencegahan gratifikasi yang juga menyentuh dunia praktik kedokteran baik yang menjadi Apartur Sipil Negara (ASN) maupun dokter swasta murni. Semua hal tersebut tentunya bukan tanpa sebab dan alasan. Kita harus secara jujur dan rendah hati mengakui bahwa hanya dikarenakan ulah para “oknum dokter” yang tidak bertanggung jawab berdampak sangat luas kepada marwah dan kehormatan profesi yang amat sangat mulia ini. Marilah kita mundur kebelakang melihat sosok dr. Cipto Mangunkusumo sebagai contoh nasional dan dr. Hasan Sadikin sebagai contoh lokal yang secara tulus dan sungguh-sungguh berupaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera, jauh sebelum adanya program JKN BPJS/KIS maupun Indonesia Sehat 2019. Artinya masih banyak dokter di Indonesia yang memiliki profil seperti dr. Cipto dan dr. Hasan Sadikin. Tengok saja bagaimana perjuangan para dokter “internship” yang akhirnya harus gugur pada saat mengabdikan ilmunya di daerah-daerah terpencil. Serta masih banyak contoh lainnya yang patut diteladani oleh para dokter.
Kita sadar bahwa tujuan utama dari Millennium Development Goals (MDGs) 2015 belum sepenuhnya tercapai. Lalu bagaimana peran dokter di Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan dibidang kesehatan serta dalam rangka menuju “Indonesia Sehat 2019”? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Penulis mencoba membagi solusi alternatif bagi para dokter agar benar-benar berperan nyata dalam pembangunan berkelanjutan dalam 5 (lima) point. Pertama, dokter harus dikembalikan lagi pada peran utamanya sebagai seorang profesional dalam kegiatan analisis, diagnosis, riset dan tindakan medis demi menyelesaikan persoalan kesehatan masyarakat. Artinya ada upaya mengurangi peran dokter dalam bidang struktural  yang tidak ada kaitan langsung dengan profesinya. Kedua, pendidikan dokter harus kembali terjangkau baik dari sisi biaya, akses maupun proporsi jatahnya untuk memperoleh SDM kedokteran yang benar-benar berkualitas. Kita harus mengapresiasi langkah yang dilakukan Rektor UNPAD bersama Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD yang “berani” membuat program pendidikan kedokteran gratis sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah distribusi dokter yang tidak seimbang antara kota dengan daerah. Ketiga, dokter harus mulai mewujudkan adanya kepastian waktu baik untuk menunggu maupun melakukan tindakan medis. Hal ini dapat didukung dengan teknologi informasi yang terintegrasi dan rekam medis dalam bentuk elektronik, sehingga sistem akan dengan mudah mengkalkulasi berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang dokter dalam melakukan tindakan medis sesuai diagnosisnya. Keempat, mulai dikuranginya sistem feodalisme yang tidak perlu dan diciptakannya kolaborasi nyata dengan profesi bidang kesehatan lainnya sebagai sebuah tim yang utuh, tanpa adanya superior maupun inferior. Kelima, peningkatan kemampuan komunikasi verbal seorang dokter agar terhindar dari adalah miskomunikasi maupun mispersepsi baik dengan sejawat maupun dengan pasien. Semangat terus para dokter Indonesia. Kami berhutang budi atas jerih payahmu demi terciptanya masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera. Tetap pegang teguh “sumpah mulia” sebagai dokter. Idealismemu akan sangat membantu menjaga nilai dan kehormatan profesi tetap berada pada posisi yang mulia.

Tulisan ini telah dimuat pada Harian Umum Pikiran Rakyat pada tanggal 7 September 2016

Rabu, 25 Februari 2015

Pentingnya Komunikasi Verbal Bagi Seorang Dokter

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang begitu pesat, disadari atau tidak dapat berdampak kepada kemampuan komunikasi verbal seseorang tidak terkecuali profesi dokter. Karakteristik pasien saat ini tidak hanya mementingkan seberapa hebat kemampuan (hard skill) seorang dokter, namun juga sampai sejauh mana kemampuan komunikasi verbal dokter tersebut dapat mempengaruhi tingkat sugesti pasien dalam menghadapi suatu penyakit. 

Komunikasi verbal disadari atau tidak masih dianggap sebagai media interaksi antar manusia yang paling efektif. Keuntungan dari komunikasi verbal adalah kedua belah pihak baik itu pemberi (speaker) maupun pendengar (listener) dapat terlibat secara langsung dan aktif dalam topik pembicaraan. Kedua belah pihak dapat saling memperhatikan tidak hanya substansi dari apa yang sedang dibicarakan, namun juga dapat menganalisis mimik muka, bahasa tubuh serta intonasi. Hal-hal tersebut dinilai cukup penting untuk tetap diterapkan dalam praktek kedokteran profesional di Indonesia. Sebagian besar Fakultas Kedokteran di Indonesia saat ini rasanya sudah mulai menyadari akan pentingnya komunikasi verbal, salah satu buktinya adalah pada Program Pendidikan Dokter Spesialis di beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia telah sejak lama diterapkan forum-forum diskusi antar residen dan konsulen untuk membahas suatu kasus penyakit yang unik. Salah satu tujuannya adalah untuk terus melatih kemampuan komunikasi verbal dari seorang dokter, sehingga pada saatnya nanti terjun langsung di masyarakat dapat dengan mudah beradaptasi dan tentunya akan menjadi mitra yang menyenangkan untuk masyarakat secara umum.

Upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi verbal seorang dokter tidak saja berhenti pada kegiatan-kegiatan rutin di lingkungan internal rumah sakit, namun juga IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai organisasi yang paling dihormati oleh para dokter yang sudah sejak lama memberikan terobosan-terobosan guna perbaikan layanan kesehatan di Indonesia khususnya berkaitan dengan komunikasi itu sendiri, namun harus menjadi suatu kesadaran pribadi para dokter itu sendiri. Salah satu langkah yang perlu segera dilakukan oleh para stakeholder adalah mulai menanamkan pada diri para dokter, bahwa untuk dapat memiliki kemampuan komunikasi verbal yang baik haruslah belajar menjadi pendengar yang baik terlebih dahulu (good speaker is a good listener). Secara pribadi saya mencoba mencontohkan salah seorang dokter yang memiliki kemampuan komunikasi verbal yang cukup baik adalah dr. Purboyo Solek, Sp.A(K). Beliau adalah ahli neurologi anak dari RSHS Bandung. Sesuai dengan bidang spelisasi yang digelutinya, dr. Purboyo mencoba menanamkan kesan positif kepada seluruh pasien yang pertama kali ditemuinya, karena kesan pertama yang baik setidaknya akan mengurangi "trauma" pada diri pasien (khususnya pasien anak). Selain dr. Purboyo, masih banyak lagi contoh dokter yang secara terus-menerus berupaya untuk selalu meningkatkan kemampuan komunikasi verbal khususnya dengan pasien. Sebagai penutup tulisan ini, saya mengajak para dokter di seluruh wilayah Indonesia untuk semakin menyadari akan pentingnya kemampuan komunikasi verbal baik untuk kepentingan komunikasi dengan sejawat maupun komunikasi dengan pasien. 

"Dokter dengan kemampuan komunikasi verbalnya baik, pastilah akan menjadi teman yang menyenangkan bagi para kolega dan para pasien".

@oktri15

Selasa, 24 Februari 2015

Dokter Ramah & Komunikatif? WAJIB!!!

Tulisan ini sebenarnya merupakan harapan besar saya pribadi untuk kualitas layanan kesehatan di Indonesia. Ide ini muncul berawal dari rentetan panjang pengalaman pribadi bersinggungan dengan dunia kesehatan dimulai dari tahuan 1981 sampai dengan saat ini. Analisis pribadi didukung oleh hasil wawancara dengan beberapa stakeholder di bidang kesehatan mulai dari tahun 2004 sampai dengan saat ini menemukan suatu kesimpulan sederhana yaitu tingkat kesembuhan seorang pasien (diluar faktor medis dan juga tindakan medis) akan sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan interpersonal yang dibangun didalam suatu sistem layanan kesehatan. Sebagai contoh seorang anak akan dengan senang hati untuk datang ke dokter anak maupun dokter gigi bukan semata-mata karena dokter tersebut memiliki keahlian (hard skill) yang sangat mumpuni, namun lebih karena adanya kesan awal yang sangat positif terhadap fasilitas dan juga tenaga medisnya. Dokter yang mampu berkomunikasi verbal secara baik dengan pasiennya, niscaya akan lebih disenangi. Dokter yang mampu memberikan nuansa optimis kepada pasien, juga sangat dinanti oleh setiap orang khususnya warga negara Indonesia.

Sebenarnya cukup klasik apabila kualitas layanan kesehatan kita coba bandingkan dengan Singapura. Pengalaman pribadi mulai tahun 2012 meneliti hal-hal yang berkaitan dengan kualitas layanan kesehatan di Singapura, sebenarnya tidak menemukan jawaban yang terlalu "WAH". Keberhasilan Singapura dalam mengelola layanan kesehatan tidak lepas dari perubahan mindset para stakeholdernya, dimana dokter, paramedis, dan tenaga pendukung lainnya sudah diperlakukan sebagai "HUMAN CAPITAL", dan tidak lagi menggunakan istilah "HUMAN RESOURCES". Artinya seorang dokter cukup "PRAKTEK" di 1 tempat saja, namun secara finansial telah aman. Pasien sebagai mitra utama rumah sakit dan dokter benar-benar diperlakukan secara "MANUSIAWI", walaupun sadar ataupun tidak nilai uang yang harus dibayarkan oleh pasien tidaklah sedikit. Waktu menunggu pasien di rumah sakit menjadi semakin "PASTI", sehingga secara psikologis pasien tidak harus membuang waktunya dengan percuma di rumah sakit. Dan yang terpenting adalah dokter lebih mengutamakan pendekatan secara humanis (dengan ramah, komunikatif dan selalu memberikan kesan positif kepada pasien).

Semoga ada orang-orang bijak di Kementerian Kesehatan RI, Rumah Sakit Pendidikan, RSUD, RS Swasta dan pimpinan Fakultas Kedokteran di Indonesia yang menyadari hal-hal tersebut, dan memulai perbaikan kualitas "MANPOWER-nya" dalam hal ini seorang dokter. Dokter yang ramah akan memberikan kesan yang positif kepada pasien. Dokter yang ramah akan membuat rumah sakit menjadi "SAHABAT" bagi setiap orang. Dan yang terpenting adalah Waktu Menunggu yang "PASTI" akan membuat rupiah kita tidak perlu terbang ke negeri Singa maupun Malaysia.

Saya yakin, kemampuan (hard skill dan soft skill) dokter Indonesia tetaplah yang TERBAIK! Amin.

@oktri15

Dokter dan Smartphone


Penggunaan smartphone di kalangan tenaga medis saat ini bukan saja diperuntukkan untuk kepentingan komunikasi secara pribadi, namun juga sudah mengarah kepada suatu kebutuhan mendasar khususnya berkaitan dengan komunikasi dengan sejawat. Smartphone dengan berbagai macam fitur yang menjanjikan berdampak secara positif kepada pemanfaatan yang lebih produktif di kalangan dokter. Salah satunya adalah dengan fitur chatting seperti (BBM, whatsapp, line, dll.). Para dokter baik yang bertugas di Rumah Sakit Pendidikan, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Rumah Sakit Swasta dan sarana pelayanan kesehatan lainnya sudah mulai menggunakan fitur-fitur pada smartphone dengan tujuan untuk mempercepat proses pertukaran informasi dan pengetahuan, sehingga pada akhirnya akan berdampak secara sistematis kepada peningkatan kualitas tindakan medis yang diberikan. Alasan lainnya dari penggunaan smartphone ini berdasarkan hasil penelitian Firdaus dkk. (2013) yang dipresentasikan pada Forum Informatika Kesehatan Indonesia (FIKI) 2013 di Semarang beberapa waktu lalu adalah untuk mengurangi kemungkinan terjadinya "DISTORSI" apabila pertukaran informasi dan pengetahuan antar dokter ini menggunakan media telepon. Selain itu juga fitur-fitur di Smartphone dapat sekaligus sebagai media penyimpanan yang efektif (dilihat dari kapasitas simpannya yang cukup besar), sehingga apabila informasi dan pengetahuan tersebut sewaktu-waktu diperlukan kembali, akan dengan mudah memperolehnya. Namun, adapun hal yang perlu dicermati dan selalu menjadi perhatian para dokter adalah walaupun smartphone mempermudah proses pertukaran informasi dan pengetahuan, tetap saja harus mengacu kepada kode etik praktek kedokteran yang berlaku di negara Republik Indonesia tercinta ini. Semoga smartphone benar-benar berfungsi sebagai "Telepon Pintar" bagi para dokter di Indonesia. 



@oktri15