Ada hal yang sangat menarik pada saat
Forum Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Bidang Kesehatan Jawa Barat yang
diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat tanggal 29 Maret 2017
yang lalu berkaitan dengan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Paparan tentang
WKDS pada acara tersebut disampaikan oleh Dr. Yoni Fuadah Syukriani, dr., MSi.,
Sp.F., DFM. (Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD) dan Dra. Hj. Oos Fatimah Rosyati,
M.Kes. (BPPSDMK Kementerian Kesehatan RI). WKDS merujuk kepada Peraturan
Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang wajib kerja dokter spesialis. WKDS efektif
berlaku sejak tanggal 12 Januari 2017, artinya semua dokter spesialis yang
lulus setelah tanggal tersebut wajib mengkuti program WKDS tanpa kecuali,
karena sanksi kepada yang melanggar langsung berasal dari Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI).
Implikasi positif dari WKDS adalah
perbaikan sistem distribusi dokter spesialis khususnya pada daerah terpencil
maupun daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain. Konsekuensi dari
penerapan WKDS antara lain peserta wajib mengikuti program minimal selama 1
(satu) tahun. Surat Tanda Registrasi (STR) hanya 1 (satu) lembar yang dapat
digunakan dari total 3 (tiga) lembar yang diterima seorang dokter spesialis,
artinya yang bersangkutan hanya boleh praktik pada 1 (satu) fasilitas kesehatan
saja yang ditentukan oleh Pemerintah. Insentif yang diterima dokter spesialis
selama mengikuti program WKDS minimal berkisar antara 23-30 juta rupiah per
bulannya. Spesialisasi yang mengikuti WKDS pada tahap awal ini adalah spesialis
obstetri dan ginekologi, spesialis anak, spesialis penyakit dalam, spesialis
bedah serta spesialis anestesi & terapi intensif.
Informasi yang disampaikan oleh
narasumber pada Forum OPD Bidang Kesehatan Propinsi Jawa Barat menyebutkan
bahwa rasio jumlah dokter spesialis dibandingkan dengan jumlah penduduk di Jawa
Barat sudah cukup baik yaitu sekitar 10 dokter spesialis per 100.000 orang.
Atau dengan kata lain rasio tersebut sudah sesuai dengan target secara
nasional. Angka tersebut sebenarnya masih menyimpan pertanyaan besar khususnya
terkait dengan pola distribusinya di Jawa Barat. Walaupun secara rasio baik,
namun penulis memiliki dugaan kuat bahwa distribusinya masih belum merata. Hal
ini ditunjang oleh hasil penelitian penulis selama periode 2011-2015 terhadap 5
(lima) rumah sakit pendidikan di Indonesia salah satunya RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung. Responden penelitian yang sebagian besar adalah dokter peserta program
pendidikan dokter spesialis (PPDS) pada Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan
Departemen Obstetri & Ginekologi menyatakan akan tetap berkarir di kota-kota
besar yang telah memiliki fasilitas kesehatan memadai dibanding memilih
merintis praktik pada daerah-daerah terpencil, kecuali PPDS yang memang
merupakan utusan daerah dengan fasilitas beasiswa dari Pemerintah. Artinya
untuk kasus di Jawa Barat besar kemungkinan bahwa distribusi dokter spesialis
khususnya bagian dasar yang menjadi prioritas WKDS masih terpusat pada
kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, Bekasi, Karawang, Cirebon maupun
Tasikmalaya.
Program yang dirancang oleh Fakultas
Kedokteran (FK) UNPAD untuk mendukung WKDS penulis nilai cukup baik, khususnya
dengan mekanisme beasiswa kerjasama dengan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota
maupun Propinsi) dimana seorang PPDS FK UNPAD memiliki kewajiban mengabdi di
daerah selama N tahun. Sebagai contoh jika seorang PPDS Bagian Anak menempuh
pendidikan spesialisasinya selama 5 (lima) tahun, maka yang bersangkutan
memiliki kewajiban mengabdi selama 5 (lima) tahun juga, dimana 1 (satu) tahun
adalah merupakan bagian dari WKDS ditambah 4 (empat) tahun sebagai komitmen
kepada FK UNPAD dan daerah pengirim. Artinya solusi yang diberikan oleh FK
UNPAD setidaknya telah membantu memecahkan permasalahan keberlanjutan program
WKDS dalam rangka pemerataan dokter spesialis di Jawa Barat secara umum, yang
pada akhirnya tujuan peningkatkan kualitas kesehatan masyarakat menjadi semakin
dekat untuk diwujudkan. Mengapa dikatakan sebagai solusi untuk tingkat
keberlanjutan? Tentunya pernyataan tersebut bukanlah tanpa dasar yang kuat.
Berdasarkan hasil penelitian penulis khususnya pada tahun 2013, menunjukkan
bahwa kurikulum yang telah disusun masing-masing Departemen dibawah naungan FK
UNPAD sebenarnya sudah merujuk kepada konteks “Turn Over” yang efektif, atau
dengan kata lain harus ada keseimbangan antara jumlah PPDS yang direkrut dengan
dokter spesialis yang dihasilkan serta tetap memegang teguh kualitas diatas
segalanya. Namun, pada kenyataannya angka “Turn Over” bukanlah sesuatu yang
mudah untuk diwujudkan. Banyak hal yang dapat menghambat lancarnya implementasi
Pendidikan Dokter Spesialis, tidak hanya di FK UNPAD namun berlaku secara umum
di negeri ini, baik yang sifatnya dapat dikendalikan oleh pihak penyelenggara
pendidikan (dalam hal ini FK UNPAD maupun masing-masing Departemen) maupun
faktor yang murni berasal dari individu PPDS itu sendiri.
Terlepas dari masalah “Turn Over” yang belum
dapat diwujudkan dalam waktu dekat, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang
perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan di bidang kesehatan dalam
mendukung program WKDS. Pertama, inventarisasi
jumlah kebutuhan dokter spesialis di masing-masing Kabupaten dan Kota harus
benar-benar valid dengan memperhatikan prediksi waktu purnabakti dokter
“eksisting” dan juga pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan di daerah tersebut.
Sehingga kuota PPDS yang direkrut setiap periodenya benar-benar sesuai
kebutuhan daerah tujuan. Kedua, Kepala
Dinas Kesehatan di daerah bekerjasama dengan Pimpinan Rumah Sakit tempat
implementasi WKDS mewujudkan suasana kerja yang kondusif dan memacu peserta
untuk mengembangkan konsep “depend on system” dan bukannya “depend on person”.
Artinya setelah mereka selesai mengikuti program WKDS tetap memiliki motivasi
untuk memajukan fasilitas kesehatan daerah dibandingkan dengan harus kembali ke
kota besar menjadi Dokter Praktek “Partikelir”. Ketiga, bidang Teknik Industri yang penulis geluti setidaknya dapat
membantu Pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki sistem dan proses bisnis di
Rumah Sakit tempat pelaksanaan program WKDS menjadi lebih efektif dan efisien
dengan konsep “LEAN HOSPITAL”. Semoga WKDS benar-benar mampu menyelesaikan
masalah distribusi dokter spesialis, dan semoga WKDS bukan hanya dijadikan
“Proyek Sementara Waktu”, namun harus menjadi Sistem yang berjalan secara
berkesinambungan dan berkelanjutan.
Sumber foto: kaltim.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar