Selasa, 22 Mei 2018

Wajib Kerja Dokter Spesialis?


Ada hal yang sangat menarik pada saat Forum Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Bidang Kesehatan Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat tanggal 29 Maret 2017 yang lalu berkaitan dengan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Paparan tentang WKDS pada acara tersebut disampaikan oleh Dr. Yoni Fuadah Syukriani, dr., MSi., Sp.F., DFM. (Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD) dan Dra. Hj. Oos Fatimah Rosyati, M.Kes. (BPPSDMK Kementerian Kesehatan RI). WKDS merujuk kepada Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang wajib kerja dokter spesialis. WKDS efektif berlaku sejak tanggal 12 Januari 2017, artinya semua dokter spesialis yang lulus setelah tanggal tersebut wajib mengkuti program WKDS tanpa kecuali, karena sanksi kepada yang melanggar langsung berasal dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Implikasi positif dari WKDS adalah perbaikan sistem distribusi dokter spesialis khususnya pada daerah terpencil maupun daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain. Konsekuensi dari penerapan WKDS antara lain peserta wajib mengikuti program minimal selama 1 (satu) tahun. Surat Tanda Registrasi (STR) hanya 1 (satu) lembar yang dapat digunakan dari total 3 (tiga) lembar yang diterima seorang dokter spesialis, artinya yang bersangkutan hanya boleh praktik pada 1 (satu) fasilitas kesehatan saja yang ditentukan oleh Pemerintah. Insentif yang diterima dokter spesialis selama mengikuti program WKDS minimal berkisar antara 23-30 juta rupiah per bulannya. Spesialisasi yang mengikuti WKDS pada tahap awal ini adalah spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis anak, spesialis penyakit dalam, spesialis bedah serta spesialis anestesi & terapi intensif.
Informasi yang disampaikan oleh narasumber pada Forum OPD Bidang Kesehatan Propinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa rasio jumlah dokter spesialis dibandingkan dengan jumlah penduduk di Jawa Barat sudah cukup baik yaitu sekitar 10 dokter spesialis per 100.000 orang. Atau dengan kata lain rasio tersebut sudah sesuai dengan target secara nasional. Angka tersebut sebenarnya masih menyimpan pertanyaan besar khususnya terkait dengan pola distribusinya di Jawa Barat. Walaupun secara rasio baik, namun penulis memiliki dugaan kuat bahwa distribusinya masih belum merata. Hal ini ditunjang oleh hasil penelitian penulis selama periode 2011-2015 terhadap 5 (lima) rumah sakit pendidikan di Indonesia salah satunya RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Responden penelitian yang sebagian besar adalah dokter peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) pada Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan Departemen Obstetri & Ginekologi menyatakan akan tetap berkarir di kota-kota besar yang telah memiliki fasilitas kesehatan memadai dibanding memilih merintis praktik pada daerah-daerah terpencil, kecuali PPDS yang memang merupakan utusan daerah dengan fasilitas beasiswa dari Pemerintah. Artinya untuk kasus di Jawa Barat besar kemungkinan bahwa distribusi dokter spesialis khususnya bagian dasar yang menjadi prioritas WKDS masih terpusat pada kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, Bekasi, Karawang, Cirebon maupun Tasikmalaya.
Program yang dirancang oleh Fakultas Kedokteran (FK) UNPAD untuk mendukung WKDS penulis nilai cukup baik, khususnya dengan mekanisme beasiswa kerjasama dengan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota maupun Propinsi) dimana seorang PPDS FK UNPAD memiliki kewajiban mengabdi di daerah selama N tahun. Sebagai contoh jika seorang PPDS Bagian Anak menempuh pendidikan spesialisasinya selama 5 (lima) tahun, maka yang bersangkutan memiliki kewajiban mengabdi selama 5 (lima) tahun juga, dimana 1 (satu) tahun adalah merupakan bagian dari WKDS ditambah 4 (empat) tahun sebagai komitmen kepada FK UNPAD dan daerah pengirim. Artinya solusi yang diberikan oleh FK UNPAD setidaknya telah membantu memecahkan permasalahan keberlanjutan program WKDS dalam rangka pemerataan dokter spesialis di Jawa Barat secara umum, yang pada akhirnya tujuan peningkatkan kualitas kesehatan masyarakat menjadi semakin dekat untuk diwujudkan. Mengapa dikatakan sebagai solusi untuk tingkat keberlanjutan? Tentunya pernyataan tersebut bukanlah tanpa dasar yang kuat. Berdasarkan hasil penelitian penulis khususnya pada tahun 2013, menunjukkan bahwa kurikulum yang telah disusun masing-masing Departemen dibawah naungan FK UNPAD sebenarnya sudah merujuk kepada konteks “Turn Over” yang efektif, atau dengan kata lain harus ada keseimbangan antara jumlah PPDS yang direkrut dengan dokter spesialis yang dihasilkan serta tetap memegang teguh kualitas diatas segalanya. Namun, pada kenyataannya angka “Turn Over” bukanlah sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Banyak hal yang dapat menghambat lancarnya implementasi Pendidikan Dokter Spesialis, tidak hanya di FK UNPAD namun berlaku secara umum di negeri ini, baik yang sifatnya dapat dikendalikan oleh pihak penyelenggara pendidikan (dalam hal ini FK UNPAD maupun masing-masing Departemen) maupun faktor yang murni berasal dari individu PPDS itu sendiri.
Terlepas dari masalah “Turn Over” yang belum dapat diwujudkan dalam waktu dekat, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan di bidang kesehatan dalam mendukung program WKDS. Pertama, inventarisasi jumlah kebutuhan dokter spesialis di masing-masing Kabupaten dan Kota harus benar-benar valid dengan memperhatikan prediksi waktu purnabakti dokter “eksisting” dan juga pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan di daerah tersebut. Sehingga kuota PPDS yang direkrut setiap periodenya benar-benar sesuai kebutuhan daerah tujuan. Kedua, Kepala Dinas Kesehatan di daerah bekerjasama dengan Pimpinan Rumah Sakit tempat implementasi WKDS mewujudkan suasana kerja yang kondusif dan memacu peserta untuk mengembangkan konsep “depend on system” dan bukannya “depend on person”. Artinya setelah mereka selesai mengikuti program WKDS tetap memiliki motivasi untuk memajukan fasilitas kesehatan daerah dibandingkan dengan harus kembali ke kota besar menjadi Dokter Praktek “Partikelir”. Ketiga, bidang Teknik Industri yang penulis geluti setidaknya dapat membantu Pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki sistem dan proses bisnis di Rumah Sakit tempat pelaksanaan program WKDS menjadi lebih efektif dan efisien dengan konsep “LEAN HOSPITAL”. Semoga WKDS benar-benar mampu menyelesaikan masalah distribusi dokter spesialis, dan semoga WKDS bukan hanya dijadikan “Proyek Sementara Waktu”, namun harus menjadi Sistem yang berjalan secara berkesinambungan dan berkelanjutan.

Sumber foto: kaltim.tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar