Selasa, 28 Maret 2017

Dokter dan Pembangunan

Tulisan ini diilhami dari kegagalan penulis menembus Fakultas Kedokteran 17 tahun yang lalu dikarenakan menderita buta warna parsial, yang menyebabkan mimpi dan cita-cita menjadi dokter harus ditutup rapat-rapat. Tapi kita harus senantiasa percaya kepada Takdir Ilahi yang terkadang berbeda dengan ekspektasi seorang manusia. Penulis teringat dengan ucapan H. Dedy Mizwar yang sangat terkenal pada sebuah serial religius ditayangkan secara rutin di sebuah televisi swasta yaitu “Ada Rahasia dibalik Rahasia”. Rahasia Alloh SWT itulah yang mengantarkan penulis kepada kepedulian yang sangat tinggi terhadap peran aktif sebuah profesi mulia di muka bumi ini yaitu dokter.
Dokter sampai saat ini masih merupakan profesi yang diidamkan oleh jutaan anak manusia khususnya di Indonesia. Dokter masih dianggap sebagai profesi yang dapat menjadi kebanggaan pihak keluarga. Dokter masih dianggap sebagai profesi yang dapat meningkatkan harkat dan martabat seseorang di lingkungan masyarakat. Dokter juga masih dianggap sebagai profesi yang secara cepat dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah. Serta dokter juga masih dianggap sebagai profesi yang memiliki nilai tambah tertinggi dibandingkan dengan profesi lainnya.
Semua pernyataan tersebut ada benarnya walaupun tidak dapat dikatakan 100% tepat. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena yang mungkin saja akan sangat sulit untuk dihilangkan dalam benak masyarakat secara umum. Tidak heran jika orang tua bersedia merogoh koceknya sangat dalam hanya untuk dapat menyekolahkan anaknya ke Fakultas Kedokteran (baik PTN maupun PTS), dengan harapan bahwa selepas anak tersebut lulus menjadi dokter dapat meningkatkan derajat kehormatan orang tua dan keluarga besarnya. Fenomena ini tidak serta merta dapat berjalan dengan mulus apabila sang anak ternyata tidak mendapatkan “passion-nya” di bidang kedokteran.
Terlepas dari fenomena tersebut, akhir-akhir ini masih hangat didalam ingatan kita profesi dokter kembali menjadi sorotan masyarakat dengan adanya kasus vaksin palsu. Kasus ini menyisakan beberapa kisah pilu yang menimpa profesi mulia ini, dimana masyarakat yang merasa dirugikan menjadikan dokter sebagai sasaran hujatan, cercaan, hinaan bahkan kekerasan secara fisik. Kasus ini disimpulkan oleh sebagian kalangan menyeret profesi mulia ini sebagai aktor utama yang harus bertanggung jawab secara penuh. Pertanyaan berikutnya adalah apakah adil dan wajar apabila kemarahan publik karena kasus vaksin palsu hanya menjadi tanggung jawab dokter? Tentunya kita semua sepakat bahwa kasus tersebut melibatkan sebuah sistem yang dikenal sebagai sistem tata kelola dan manajemen layanan kesehatan. Berarti dokter hanyalah sebuah entitas yang harus turut bertanggung jawab karena menjadi “eksekutor” akhir yang berhubungan langsung dengan pasien dan masyarakat.
Masalah lain yang tidak kalah seru adalah ditolaknya permohonan untuk meninjau kembali Pasal 66 Ayat (3) UU No 29/2004 oleh Mahkamah Konsutitusi beberapa waktu yang lalu, dimana seorang dokter akan sangat rentan untuk dipidanakan tanpa harus melalui pertimbangan matang dan sistematis dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Tentunya kita masih ingat dengan kasus dr. Prita vs RS Omni serta kasus dr. Ayu di Manado pada saat melakukan tindakan medis yang berujung pada masalah pidana. Ditambah dengan semakin gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya pencegahan gratifikasi yang juga menyentuh dunia praktik kedokteran baik yang menjadi Apartur Sipil Negara (ASN) maupun dokter swasta murni. Semua hal tersebut tentunya bukan tanpa sebab dan alasan. Kita harus secara jujur dan rendah hati mengakui bahwa hanya dikarenakan ulah para “oknum dokter” yang tidak bertanggung jawab berdampak sangat luas kepada marwah dan kehormatan profesi yang amat sangat mulia ini. Marilah kita mundur kebelakang melihat sosok dr. Cipto Mangunkusumo sebagai contoh nasional dan dr. Hasan Sadikin sebagai contoh lokal yang secara tulus dan sungguh-sungguh berupaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera, jauh sebelum adanya program JKN BPJS/KIS maupun Indonesia Sehat 2019. Artinya masih banyak dokter di Indonesia yang memiliki profil seperti dr. Cipto dan dr. Hasan Sadikin. Tengok saja bagaimana perjuangan para dokter “internship” yang akhirnya harus gugur pada saat mengabdikan ilmunya di daerah-daerah terpencil. Serta masih banyak contoh lainnya yang patut diteladani oleh para dokter.
Kita sadar bahwa tujuan utama dari Millennium Development Goals (MDGs) 2015 belum sepenuhnya tercapai. Lalu bagaimana peran dokter di Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan dibidang kesehatan serta dalam rangka menuju “Indonesia Sehat 2019”? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Penulis mencoba membagi solusi alternatif bagi para dokter agar benar-benar berperan nyata dalam pembangunan berkelanjutan dalam 5 (lima) point. Pertama, dokter harus dikembalikan lagi pada peran utamanya sebagai seorang profesional dalam kegiatan analisis, diagnosis, riset dan tindakan medis demi menyelesaikan persoalan kesehatan masyarakat. Artinya ada upaya mengurangi peran dokter dalam bidang struktural  yang tidak ada kaitan langsung dengan profesinya. Kedua, pendidikan dokter harus kembali terjangkau baik dari sisi biaya, akses maupun proporsi jatahnya untuk memperoleh SDM kedokteran yang benar-benar berkualitas. Kita harus mengapresiasi langkah yang dilakukan Rektor UNPAD bersama Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD yang “berani” membuat program pendidikan kedokteran gratis sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah distribusi dokter yang tidak seimbang antara kota dengan daerah. Ketiga, dokter harus mulai mewujudkan adanya kepastian waktu baik untuk menunggu maupun melakukan tindakan medis. Hal ini dapat didukung dengan teknologi informasi yang terintegrasi dan rekam medis dalam bentuk elektronik, sehingga sistem akan dengan mudah mengkalkulasi berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang dokter dalam melakukan tindakan medis sesuai diagnosisnya. Keempat, mulai dikuranginya sistem feodalisme yang tidak perlu dan diciptakannya kolaborasi nyata dengan profesi bidang kesehatan lainnya sebagai sebuah tim yang utuh, tanpa adanya superior maupun inferior. Kelima, peningkatan kemampuan komunikasi verbal seorang dokter agar terhindar dari adalah miskomunikasi maupun mispersepsi baik dengan sejawat maupun dengan pasien. Semangat terus para dokter Indonesia. Kami berhutang budi atas jerih payahmu demi terciptanya masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera. Tetap pegang teguh “sumpah mulia” sebagai dokter. Idealismemu akan sangat membantu menjaga nilai dan kehormatan profesi tetap berada pada posisi yang mulia.

Tulisan ini telah dimuat pada Harian Umum Pikiran Rakyat pada tanggal 7 September 2016