Tulisan
ini diilhami dari kegagalan penulis menembus Fakultas Kedokteran 17 tahun yang
lalu dikarenakan menderita buta warna parsial, yang menyebabkan mimpi dan
cita-cita menjadi dokter harus ditutup rapat-rapat. Tapi kita harus senantiasa
percaya kepada Takdir Ilahi yang terkadang berbeda dengan ekspektasi seorang
manusia. Penulis teringat dengan ucapan H. Dedy Mizwar yang sangat terkenal
pada sebuah serial religius ditayangkan secara rutin di sebuah televisi swasta
yaitu “Ada Rahasia dibalik Rahasia”. Rahasia
Alloh SWT
itulah yang mengantarkan penulis kepada kepedulian yang sangat tinggi terhadap
peran aktif sebuah profesi mulia di muka bumi ini yaitu dokter.
Dokter
sampai saat ini masih merupakan profesi yang diidamkan oleh jutaan anak manusia
khususnya di Indonesia. Dokter masih dianggap sebagai profesi yang dapat
menjadi kebanggaan pihak keluarga. Dokter masih dianggap sebagai profesi yang
dapat meningkatkan harkat dan martabat seseorang di lingkungan masyarakat.
Dokter juga masih dianggap sebagai profesi yang secara cepat dapat menghasilkan
pundi-pundi rupiah. Serta dokter juga masih dianggap sebagai profesi yang
memiliki nilai tambah tertinggi dibandingkan dengan profesi lainnya.
Semua
pernyataan tersebut ada benarnya walaupun tidak dapat dikatakan 100% tepat. Hal
tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena yang mungkin saja akan
sangat sulit untuk dihilangkan dalam benak masyarakat secara umum. Tidak heran
jika orang tua bersedia merogoh koceknya sangat dalam hanya untuk dapat
menyekolahkan anaknya ke Fakultas Kedokteran (baik PTN maupun PTS), dengan
harapan bahwa selepas anak tersebut lulus menjadi dokter dapat meningkatkan
derajat kehormatan orang tua dan keluarga besarnya. Fenomena ini tidak serta
merta dapat berjalan dengan mulus apabila sang anak ternyata tidak mendapatkan
“passion-nya” di bidang kedokteran.
Terlepas
dari fenomena tersebut, akhir-akhir ini masih hangat didalam ingatan kita
profesi dokter kembali menjadi sorotan masyarakat dengan adanya kasus vaksin
palsu. Kasus ini menyisakan beberapa kisah pilu yang menimpa profesi mulia ini,
dimana masyarakat yang merasa dirugikan menjadikan dokter sebagai
sasaran hujatan, cercaan, hinaan bahkan kekerasan secara fisik. Kasus ini
disimpulkan oleh sebagian kalangan menyeret profesi mulia ini sebagai aktor utama yang harus
bertanggung jawab secara penuh. Pertanyaan berikutnya adalah apakah adil dan
wajar apabila kemarahan publik karena kasus vaksin palsu hanya menjadi tanggung
jawab dokter? Tentunya kita semua sepakat bahwa kasus tersebut melibatkan
sebuah sistem yang dikenal sebagai
sistem tata kelola dan manajemen layanan kesehatan. Berarti dokter hanyalah
sebuah entitas yang harus turut bertanggung jawab
karena menjadi “eksekutor” akhir yang berhubungan langsung dengan pasien dan
masyarakat.
Masalah
lain yang tidak kalah seru adalah ditolaknya permohonan untuk meninjau kembali
Pasal 66 Ayat (3) UU No 29/2004 oleh Mahkamah Konsutitusi beberapa waktu yang
lalu, dimana seorang dokter akan sangat rentan untuk dipidanakan tanpa harus
melalui pertimbangan matang dan
sistematis dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Tentunya kita
masih ingat dengan kasus dr. Prita vs RS Omni serta kasus dr. Ayu di Manado
pada saat melakukan tindakan medis yang berujung pada masalah pidana. Ditambah
dengan semakin gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya
pencegahan gratifikasi yang juga menyentuh dunia praktik kedokteran baik yang
menjadi Apartur Sipil Negara (ASN) maupun dokter swasta murni. Semua hal
tersebut tentunya bukan tanpa sebab dan alasan. Kita harus secara jujur dan
rendah hati mengakui bahwa hanya dikarenakan ulah para “oknum dokter” yang
tidak bertanggung jawab berdampak sangat luas kepada marwah dan kehormatan
profesi yang amat sangat mulia ini. Marilah kita mundur kebelakang melihat
sosok dr. Cipto Mangunkusumo sebagai contoh
nasional dan dr. Hasan Sadikin sebagai contoh lokal yang secara tulus dan
sungguh-sungguh berupaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dan
sejahtera, jauh sebelum adanya program JKN BPJS/KIS maupun Indonesia Sehat 2019. Artinya masih banyak dokter
di Indonesia yang memiliki profil seperti dr. Cipto dan dr. Hasan Sadikin.
Tengok saja bagaimana perjuangan para dokter “internship” yang akhirnya harus gugur pada saat mengabdikan
ilmunya di daerah-daerah terpencil.
Serta masih banyak contoh lainnya yang patut diteladani oleh para dokter.
Kita
sadar bahwa tujuan utama dari Millennium Development Goals (MDGs) 2015 belum
sepenuhnya tercapai. Lalu bagaimana peran dokter di Indonesia dalam pembangunan
berkelanjutan dibidang kesehatan serta dalam rangka menuju “Indonesia Sehat
2019”? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Penulis mencoba membagi solusi
alternatif bagi para dokter agar benar-benar berperan nyata dalam pembangunan
berkelanjutan dalam 5 (lima) point. Pertama,
dokter harus dikembalikan lagi pada peran utamanya sebagai seorang profesional
dalam kegiatan analisis, diagnosis, riset dan tindakan medis demi menyelesaikan
persoalan kesehatan masyarakat. Artinya ada upaya mengurangi peran dokter dalam
bidang struktural yang tidak ada kaitan
langsung dengan profesinya. Kedua,
pendidikan dokter harus kembali terjangkau baik dari sisi biaya, akses maupun
proporsi jatahnya untuk memperoleh SDM
kedokteran yang benar-benar berkualitas. Kita harus mengapresiasi langkah yang dilakukan Rektor
UNPAD bersama Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD yang “berani” membuat program
pendidikan kedokteran gratis sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan
masalah distribusi dokter yang tidak seimbang antara kota dengan daerah. Ketiga, dokter harus mulai mewujudkan adanya kepastian waktu baik untuk menunggu maupun
melakukan tindakan medis. Hal ini dapat didukung dengan teknologi informasi
yang terintegrasi dan rekam medis dalam bentuk elektronik, sehingga sistem akan
dengan mudah mengkalkulasi berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang dokter
dalam melakukan tindakan medis sesuai diagnosisnya. Keempat, mulai dikuranginya sistem feodalisme yang tidak perlu dan
diciptakannya kolaborasi nyata dengan profesi bidang kesehatan lainnya sebagai
sebuah tim yang utuh, tanpa adanya superior maupun inferior. Kelima, peningkatan kemampuan komunikasi
verbal seorang dokter agar terhindar dari adalah miskomunikasi maupun
mispersepsi baik dengan sejawat maupun dengan pasien. Semangat terus para dokter Indonesia. Kami
berhutang budi atas jerih payahmu demi terciptanya masyarakat Indonesia yang
sehat dan sejahtera. Tetap pegang teguh “sumpah mulia” sebagai dokter. Idealismemu akan sangat
membantu menjaga nilai dan kehormatan profesi tetap berada pada posisi yang
mulia.
Tulisan ini telah dimuat pada Harian Umum Pikiran Rakyat pada tanggal 7 September 2016