Hingar bingar pesta demokrasi tahun 2019
sudah mulai meningkat temperaturnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari persaingan
“cukup sengit” di Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 yang
melibatkan 3 (tiga) daerah utama yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sebagian besar pakar dan pengamat politik di negeri ini memiliki prediksi bahwa
hasil pada Pilkada 3 (tiga) daerah utama tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap
Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2019. Saya mungkin tergolong orang
yang “terlalu” berani untuk menulis artikel ini, karena latar belakang pendidikan
dan pekerjaan yang jauh dari bidang politik maupun hukum tata negara. Namun,
berbekal pengalaman mengikuti proses pendaftaran Calon Walikota Bandung melalui
Jalur Independen (Perseorangan), setidaknya saya berusaha untuk membagikan
pengalaman yang luar biasa tersebut dan mencoba menarik benang merahnya dengan
kemungkinan adanya Calon Presiden dari Jalur Independen.
Jalur Independen untuk Pilkada pada awal
digulirkannya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan respon yang sangat
positif dari masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan tingginya animo
masyarakat biasa yang berniat untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah baik
pada tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Kota Bandung pun tidak ingin
tertinggal, buktinya pada saat Pilkada tahun 2008 terdapat 1 (satu) pasangan
Calon Walikota/Wakil Walikota dari Jalur Independen yang mengikuti kontestasi.
Puncaknya pada tahun 2013 terdapat 4 (empat) pasangan Calon Walikota/Wakil
Walikota dari jalur independen, dan hebatnya lagi salah satu pasangan calon
independen walaupun belum menang, akan tetapi berhasil menembus posisi 4
(empat) besar mengalahkan salah satu pasangan calon yang diusung oleh Partai
Golkar. Sebenarnya hasil yang cukup fenomenal pernah ditorehkan oleh calon dari
jalur independen yaitu pasangan Aceng Fikri – Dicky Chandra yang berhasil
memenangkan Pilkada Kabupten Garut beberapa waktu lalu, walaupun akhirnya
mereka kandas di tengah perjalanan menjalankan amanahnya. Pasangan jalur
independen lainnya yang berhasil memenangkan kontestasi Pilkada di Jawa Barat adalah
Dadang M. Naser – Gungun Gunawan di Pilkada Kabupaten Bandung, walaupun jika
bicara jujur pasangan ini bukanlah “murni” independen, karena latar belakang
keduanya adalah Kader Partai Politik atau dengan kata lain “Independen Rasa
Parpol”, serta kisah sukses pada Pilkada di daerah-daerah lainnya.
Antusiasme calon dari jalur independen
seakan tidak surut pada Pilkada tahun 2018 di Kota Bandung. Setidaknya ada 3
(tiga) pasangan bakal calon dari jalur independen yang ikut mendaftar ke KPUD
Kota Bandung pada 29 Nopember 2017 yang lalu termasuk salah satunya saya
sendiri, walaupun pada akhirnya tidak satupun pasangan calon jalur independen
yang lolos, sehingga Pilkada Kota Bandung 2018 menjadi kali pertama tanpa
pasangan calon dari jalur independen. Salah satu faktor utama kegagalan para
bakal calon Walikota Bandung di Pilkada 2018 tidak terlepas dari semakin
beratnya jumlah minimal dukungan yaitu sebesar 6,5% dari total jumlah Daftar
Pemilih Tetap (DPT) atau sekira 110.000 orang. Sebenarnya jika menilik kepada
jumlah minimal dukungan, harusnya minimal ada 1 (satu) pasangan calon dari
jalur independen di Pilkada Kota Bandung 2018 ini, namun berdasarkan pengalaman
sendiri melakukan ikhtiar pengumpulan KTP selama 7 bulan (sejak Mei 2017 sampai
dengan Nopember 2017), kendala utama yang dihadapi adalah masih banyaknya warga
yang belum memiliki e-KTP dengan berbagai alasan mulai dari belum menerima
e-KTP padahal sudah melakukan perekaman atau yang memang benar-benar belum
melakukan perekaman sama sekali.
Menakar probabilitas atau kemungkinan
adanya calon kepala daerah di tingkat Propinsi yang maju dari jalur independen
sebenarnya cukup terbuka. Buktinya pada tahun 2013 terdapat 1 (satu) pasang
calon dari jalur independen di Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018, walaupun
nasibnya juga hampir sama dengan pasangan di tingkat Kabupaten/Kota yaitu kalah
dalam kontestasi. Lalu bagaimana jika kita berangkat ke tingkatan yang lebih
tinggi yaitu Pemilihan Presiden. Mungkinkah seorang warga negara biasa yang
berbekal dukungan KTP minimal 6,5% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia
yang memiliki hak pilih dapat berhasil maju sebagai calon presiden dari jalur
independen? Jawabanya kenapa tidak mungkin seorang Presiden Republik Indonesia
di masa yang akan datang justru berasal dari Jalur Independen.
Tantangan terbesar terwujud atau
tidaknya calon presiden dari jalur independen sangatlah bergantung kepada
peraturan perundangan yang mengaturnya. Menurut hemat saya, selama
Undang-Undang PEMILU, MD3 maupun Peraturan KPU masih ditentukan oleh para
legislator di DPR RI yang notabenenya adalah representasi dari Partai Politik,
niatan untuk mewujudkan calon Presiden dari Jalur Independen sangatlah sulit
untuk terealisasi dalam waktu dekat, namun bukan berarti 100% mustahil. Artinya,
selama kewenangan DPR RI masih dominan, sebagai warga biasa kita masih akan
berkutat pada tatanan wacana, studi, kajian ilmiah dan harapan terhadap
munculnya calon presiden dari jalur independen, sebab kita tidak mengenal adanya
“Fraksi Independen” di tingkat DPR RI, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota
seperti halnya pada masa Orde Baru kita kenal ada Fraksi Utusan Daerah
(sekarang bertransformasi menjadi Dewan Perwakilan Daerah) dan Fraksi Utusan
Golongan. Mengapa saya menyinggung tentang “Fraksi Independen” di DPR?
Alasannya sangat sederhana, jika kita ingin mewujudkan adanya Presiden dari
jalur independen tentunya harus didukung dengan perangkat di DPR, DPRD Propinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota bernama Fraksi Independen. Fraksi Independen ini
diharapkan dapat menjadi “pendukung dan penyokong” utama Sang Presiden dan juga
alat kontrol bagi kinerja yang bersangkutan, sehingga pada saat Presiden akan
membuat suatu kebijakan strategis dengan sendirinya memperoleh dukungan yang
kuat dan legal di tingkat Parlemen. Begitu juga berlaku untuk Gubernur dan
Walikota/Bupati dari Jalur Independen. Prakteknya selama ini, para Kepala
Daerah yang berasal dari Jalur Independen akhirnya “terpaksa” merapat dan
melakukan “kompromi” dengan Partai Politik di DPRD untuk sekedar mendapatkan
dukungan pada saat mengeluarkan kebijakan strategis daerah melalui Peraturan
Daerah (Perda), bahkan tidak sedikit Kepala Daerah dari Jalur Independen ini
akhirnya berlabuh ke Partai Politik dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan
jabatan dan kekuasaannya. Lalu siapakah yang pantas menjadi anggota Fraksi
Independen di DPR, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota? Untuk menjawab
pertanyaan ini tentunya perlu dilakukan kajian ilmiah yang mendalam serta
diskusi produktif dengan para pakar politik dan hukum tata negara agar pada
akhirnya memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
Sebagai penutup, berdasarkan hasil analisis
sederhana yang saya lakukan serta didukung oleh pengalaman sebagai bakal calon
walikota dari Jalur Independen jika kita boleh berandai-andai setidaknya butuh
waktu 10 (sepuluh) tahun dari sekarang untuk mempersiapkan dokumen administrasi
dalam rangka mewujudkan peraturan perundangan tentang Calon Presiden dari Jalur
Independen, juga proses seleksi orang-orang yang dianggap mumpuni untuk dapat
diusung sebagai calon presiden jalur independen, serta melakukan sosialisasi
dan edukasi kepada masyarakat luas tentang rencana calon presiden jalur
independen sekaligus dengan proses pengumpulan e-KTP sebagai bukti dukungan
yang sah. Artinya jika semua proses ikhtiar tersebut diberi kelancaran, pada
tahun 2029 kita dapat menjadi saksi sejarah munculnya Calon Presiden dari Jalur
Independen. Semoga!